Check out the Latest Articles:

Selasa, 12 April 2011

Bidang pertanian mendapat perhatian yang besar dalam Islam. Islam memberikan dorongan ruhiah yang besar untuk bertani atau berladang atau lebih umum menanam bebijian atau pepohonan. Rasulullah saw. pun bersabda:

Tidaklah seorong Muslim menanam sebatang pohon (berkebun) atau menanam sebutir biji (bertani), lalu sebagian hasilnyo dimakan oleh burung, manusia atau binatang, melainkan baginya ada pahala sedekah (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan Ahmad).

Selain dorongan ruhiah, peran negara yang menjalankan politik ekonomi Islam juga amat penting dan berperan besar. Hasilnya, kaum Muslim berhasil meraih kegemilangan di sektor pertanian serta memberikan konstribusi besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia selama berabad-abad. Semua itu terekam baik dalam sejarah kaum Muslim dan diakui oleh sejarahwan Barat sekalipun.


Kemajuan besar di sektor pertanian itu menunjukkan besarnya peran kebijakan pertanian Khilafah ketika itu. Kebijakan itu dimaksudkan untuk meningkatkan produksi pertanian dan menjamin kelangsungannya. Kebijakan itu mencakup kebijakan intensifikasi, ekstensifikasi, pembangunan infrastruktur pertanian, litbang dan dukungan kepada petani.


Intensifikasi dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Di antaranya dalam bentuk penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih balk seperti bibit unggul, penggunaan pupuk, obat-obatan dan saprotan, dsb. Intensifikasi juga dilakukan dengan jalan penciptaan, penyebarluasan serta penggunaan teknik budidaya dan produksi modern yang lebih efisien di kalangan petani.

Pola intensifikasi sudah dilakukan sejak awal. Setidaknya pada awal abad ke-9, sistem pertanian modern telah menjadi pusat kehidupan ekonomi dan organisasi di negeri-negeri Muslim. Pertanian di Timur Dekat, Afrika Utara dan Spanyol didukung sistem pertanian yang maju, menggunakan irigasi yang canggih dan pengetahuan yang sangat memadai. Kaum Muslim telah menguasai teknik budidaya modern untuk kebun buah dan sayuran. Mereka juga tahu bagaimana membasmi serangga dan menggunakan dosis pupuk yang tepat.

Umat Islam pun telah mengembangkan teknik pemuliaan tanaman dan hewan yang maju sehingga bisa menghasilkan bibit unggul baik tanaman maupun hewan ternak. Kaum muslin dikenal memiliki kuda-kuda terbaik, ternak domba penghasil daging maupun wol. Kaum Muslim juga mampu mengembangkan varietas tanaman yang ungggul, selain memunculkan varietas baru dan menambahkan keragaman tanaman yang ada.

Sejumlah jenis tanaman yang sebelumnya tak dikenal berhasil dikembangkan dan diperkenalkan. Contohnya, jeruk "sour orange" dan lemon. Buah asli Asia ini dibawa umat Islam dari India ke Arab sebelum abad ke-10 dan dikembangkan hingga akhirnya juga dikenal di Suriah, Asia Kecil, Palestine, Mesir dan Spanyol. Dari Spanyol lalu menyebar ke seluruh Eropa Selatan dan dikenal sebagai Seville Orange.

Kaum Muslim juga memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang tanah, jenisnya, kandungannya dan karakteristiknya: kelembaban, termasuk cuaca dan iklim serta tanaman apa yang cocok. Mereka juga menguasai teknik pembuatan pupuk dan komposisi penggunaannya.

Untuk meningkatkan produktivitas pertanian. kaum Muslim mengembangkan sistem irigasi yang canggih. Dalam hal ini juga diadopsi teknik dan teknologi modern seperti penggunaan kincir untuk mengangkat air dari sungai lalu dialirkan melalui jaringan irigasi. Dengan itu satu lahan bisa dipanen sampai tiga kali setahun dan dengan jenis tanaman yang berbeda.

Selain Intensifikasi juga dilakukan ekstensifikasi untuk menambah luas areal tanam dan luas lahan. Salah satunya dengan ihyaa'ul mawat (menghidupkan tanah mati), yaitu siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Hukum ini selain turut berperan dalam pendistribusian lahan pertanian juga uga menjamin luas areal tanam. Dengan itu tidak ada lahan yang terlantar dan semua lahan menjadi produktif. Berbeda dengan sekarang, ada jutaan utaan hektar lahan terlantar, dan pada saat yang sama juga ada jutaan petani tidak punya lahan.

Luas lahan ditingkatkan dengan membuka lahan baru. Misalnya seperti yang dilakukan Khilafah Bani Umayyah dengan mengeringkan daerah rawa-rawa dan daerah aliran sungai di Irak serta menyulapnya menjadi lahan pertanian yang subur. Perluasan juga dilakukan dengan mengubah lahan yang tandus dan tidak subur dengan jalan dibangun saluran irigasi ke daerah itu. Lahan-lahan baru itu lalu dibagikan kepada para petani yang tidak punya lahan atau lahannya sempit.

Kemajuan pertanian tidak bisa diraih tanpa dukungan infrastruktur yang baik dan memadai. Ini disadari betul oleh para khalifah. Infrastruktur penting adalah irigasi. Khilafah Umayyah membangun jaringan irigasi yang canggih di seluruh wilayah dan yang terkenal di wilayah Irak. Sistem jaringan irigasi ini lalu diintroduksi ke Spanyol pada masa pemerintahan Islam di sana. Pompa-pompa juga dikembangkan untuk mendukung irigasi itu. Awalnya digunakan pompa ungkit. Berikutnya dikembangkan pompa Saqiya yang digerakkan dengan tenaga hewan. Yang fenomenal adalah dikembangkan kincir air sejak abad ke-3H (9M) untuk mengangkat air sungai dan diintegrasikan dengan penggilingan. Ada ratusan di sepanjang sungai Eufrat dan Tigris. Infrastruktur lainnya adalah jalan. Jalan terus dibangun dan ditingkatkan kualitasnya sejak masa Khalifah Umar bin al-Khaththab.

Khilafah juga membiayai pemeliharaan kanal kanal besar untuk pertanian. Air dari Sungai Eufrat dialirkan hampir ke seluruh wilayah Mesopotamia atau Irak sekarang, sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia. Negara juga membangun sebuah kanal besar yang menghubungkan dua sungai di Baghdad. Kekhalifahan Abbasiyah memelopori pengeringan rawa-rawa agar digunakan untuk pertanian.

Khilafah juga merehabilitasi desa-desa yang rusak dan memperbaiki ladang yang mengering. Pada abad ke-10, di bawah kepemimpinan sultan dari Bani Samanid, daerah antara Bukhara dan Samarkand, Uzbekistan berkembang pesat dan menjadi satu dari empat surga dunia. Tiga lainnya adalah wilayah Persia Selatan, Irak Selatan dan di sekitar Damaskus, Suriah.

Khilafah juga memberikan dukungan kepada para petani. Di antaranya dukungan permodalan baik dalam bentuk pemberian seperti yang diberikan pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab kepada para petani di Irak, atau dalam bentuk pinjaman tanpa bunga seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan utang itu baru dikembalikan dua tahun setelahnya.

Khilafah juga mengembangkan iklim yang kondusif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi, termasuk di bidang pertanian. Banyak laboratorium dibangun, begitu pula perpustakaan dan lahan-¬lahan percobaan. Para ilmuwan diberi berbagai dukungan yang diperlukan, termasuk dana penelitian, selain penghargaan atas karya mereka. Lalu lahirlah banyak sekali ilmuwan pelopor di bidang pertanian. Misalnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al-Awwan, tinggal di Seville. Ia menulis buku Kitab al-Fildhah yang menjelaskan rincian tentang hampir 600 jenis tanaman dan budidaya 50 jenis buah-buahan, hama dan penyakit serta penanggulanganya, teknik mengolah tanah: sifat-sifat tanah, karakteristik dan tanaman yang cocok; juga tentang kompos. Ada juga Abu al-Khair, seorang ahli pertanian abad ke-12 di Spanyol. Ia menulis dan menjelaskan empat cara untuk menampung air hujan dan membuat perairan buatan. Khair menegaskan perlunya penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun dengan cara stek. Ia juga menguraikan teknik pembuatan gula dari Tebu.

Ahmad al-Muwairi dalam bukunya Nihayah al-Arab fi Funun al-Adab menjelaskan, pada masa itu juga telah berkembang industri gula yang didukung oleh perkebunan tebu di Faris dan al-Ahwaz, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Laut Tengah. Ia juga menginformasikan penggunaan bajak berat (maharit kibaar) yang digunakan sebelum penanaman tebu.

Ada pula ahli pertanian dari Damaskus, Riyad ad-Din al-Ghazni al-Amiri (935/1529). Dia menulis sebuah buku tentang pertanian yang terperinci. Ibnu Bassal (1038-1075), seorang ilmuwan di Andalusia, memelopori penggunaan teknologi "flywheel" (roda gila) untuk meningkatkan. kemampuan Noria atau Na'ura (roda kincir air). Teknologi kincir termasuk kincir angin sudah dijelaskan dalam Kitab at-Hiyal karya Banu Musa bersaudara abad ke-3 H (9 M). Muhammad bin Zakaria ar-Razi dalam kitabnya al-Hawi (abad X M), menggambarkan kincir air di Irak yang bisa mengangkat sebanyak 153.000 liter perjam, atau 2.550 liter permenit. Buku ini juga menggambarkan output dari satu kincir air dengan ketinggian 5 meter di Irak dapat mencapai 22.000 liter perjam.

Maka dari itu, wajar dengan kebijakan itu dan kebijakan lainnya, tercapai kegemilangan pertanian pada masa Khilafah. Berdasarkan catatan sejarah dan komentar para ilmuwan termasuk dari Barat, sistem pertanian pada era Spanyol Muslim merupakan sistem pertanian yang paling kompleks dan paling ilmiah, yang pernah disusun oleh kecerdikan manusia.

Joseph McCabe, cendekiawan berkebangsaan Inggris, mengungkapkan, di bawah kendali Muslim Arab (pada masa Kh1lafah), perkebunan di Andalusia jarang dikerjakan oleh budak. Perkebunan dikerjakan oleh para petani sendiri. Saat yang sama, bangsa Eropa masih dikukung oleh sistem feodal, saat tanah pertanian dikuasai oleh para tuan tanah dari kalangan bangsawan, sedangkan petaninya hanya sebagai buruh tani yang miskin.

Di sepanjang Sungai Guadalquivir Spanyol juga terdapat 12 ribu desa yang berkecukupan, bahkan makmur. Revolusi Pertanian Islam telah diawali pada abad ke-7 yang membuat negeri-¬negeri Islam berkembang pesat dan memiliki masyarakat makmur dari hasil pertanian. Para ahli geografi awal mengungkapkan, terdapat 360 desa di Fayyum, sebuah provinsi di selatan Kairo, Mesir, yang masing-masing dapat menyediakan kebutuhan makanan bagi penduduk seluruh Mesir se tiap hari. Ada pula 200 desa di sepanjang Sungai Tigris, Irak, yang pertaniannya juga maju. Sensus yang dilakukan pada abad ke ¬8 di Mesir mengungkapkan bahwa dari 10 ribu desa di Mesir, tak ada desa yang memiliki bajak kurang dari 500 unit.

Tak aneh, wilayah-wilayah yang sebelumnya terelakang secara pertanian, setelah berada di bawah Khilafah mengalami kemajuan yang pesat. Wilayah Mediteranian yang sebelumnya terbelakang, dengan datangnya Islam, segalanya pun berubah. Kaum Muslim yang datang ke wilayah itu memperkenalkan berbagai macam tanaman baru sehingga garapan pertanian pun kian beragam. Seorang ahli agronomi Andalusia, seperti at-Tignari yang berasal dari Granada, membuat referensi tentang tanaman-tanaman yang memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pertanian yang cukup signifikan.

Seorang orientalis dari Prancis, Baron Carra de Vaux, menyebutkan sejumlah tanaman dan hewan yang dibawa umat Islam dari Timur ke Spanyol, diantaranya: tulip, bakung, narcissi, lili, melati, mawar, persik, plum, domba, kambing, kucing Anggora, ayam Persia, sutra, dan katun. Salah satu tanaman penting di antaranya adalah tebu. Kapas mulai dibudidayakan di Andalusia pada akhir abad ke-11 hingga tercapai swasembada kapas bahkan diekspor. Dengan produksi pertanian yang semacam ini, penduduk kosmopolitan di kota-kota Islam, termasuk yang ada di Spanyol, mampu memenuhi kotanya dengan beragam produk buah dan sayuran yang sebelumnya tak dikenal di Eropa.

Masih banyak catatan gemilang di bidang pertanian pada masa Khilafah. Semua itu bisa diulang kembali, bahkan bisa jauh melebihi, pada masa sekarang dan akan datang, yaitu dengan tegaknya kembali Khilafah Rasyidah di tengah-tengah kita. WalLaah a’lam bi ash-shawaab
SUMBER: http://www.globalmuslim.web.id/2011/04/kegemilangan-pertanian-pada-masa.html

Senin, 11 April 2011


Kasus di Libya hampir sama dengan kasus Timor Timur, dengan alasan HAM, Demokrasi dan PBB akhirnya Timor Timur Lepas dari Indonesia. Dibawah tekanan Australia, Amerika dan PBB atas nama HAM dan Demokrasi, akhirnya pemerintah BJ Habibie saat itu tidak sanggup lagi menghadapi tekanan politik yang bertubi-tubi dari para penjajah Kapitalis yang mengincar Minyak di celah Timor.
begitu juga dengan libya, dengan alasan HAM AS dan sekutunya menyerang pemerintahan Khadafi padahal ujung2nya ingin menguasai minyak di libya.

Menurut pengamat militer ibu Connie Rahakundini Bakrie skenario AS menyerang libya dan timur tengah sudah di rancang dari awal. karena semua negara tersebut terdapat sumber minyak bumi yang besar. Bahkan Ibu connie menambahi kalau sasaran AS selanjutnya adalah papua. 

wow..benar-benar mengagetkan..!!!!


Pernyataan ibu connie pada siaran tv one sabtu 26/3 2011 bukannya tanpa dasar. Kabar Papua menjadi target AS berikutnya sudah beredar di kalangan intelejen.

Sebuah sumber di lingkungan Departemen Luar Negeri mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap. 

Karena dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih, praktis politik luar negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi angin.

Beberapa fakta lapangan mendukung informasi sumber kami di Departemen Luar Negeri tersebut. Betapa tidak. Dalam dua bulan terakhir ini, US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yang secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.



Kalau RUU ini lolos, berarti ada beberapa elemen strategis di Washington yang memang berencana mendukung sebuah opsi untuk memerdekakan Papua secara bertahap. Dan ini berarti, sarana dan perangkat yang akan dimainkan Amerika dalam menggolkan opsi ini adalah, melalui operasi intelijen yang bersifat tertutup dan memanfaatkan jaringan bawah tanah yang sudah dibina CIA maupun intelijen Departemen Luar Negeri Amerika.

Karena itu, Departemen Luar Negeri RI haruslah siap dari sekarang untuk mengantisipasi skenario baru Amerika dalam menciptakan aksi destabilisasi di Papua. Berarti, Departemen Luar Negeri harus mulai menyadari bahwa Amerika tidak akan lagi sekadar menyerukan berbagai elemen di TNI maupun kepolisian untuk menghentikan adanya pelanggaran-pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.

campur tangan Amerika dengan skenarionya berusaha agar Papua lepas dari NKRI. Amerika tentu punya alasan agar Papua lepas dari Indonesia, Papua adalah mutiara hitam dari timur, sebuah tanah yang kaya raya, dengan kekayaan alam yang luar biasa banyaknya serta kandungan emas di bukit Freeport yang melimpah membuat para Kapitalis penajajah serakah ngiler dibuatnya.

Padahal kalau kita tahu pembagian royalty freeport indonesia hanya mendapat 1 %, sedangkan asing mendapat 99%.

sungguh lucu yah..
masa tukang cangkul hasilnya jauh lebih banyak dari yang punya tanah.

Alasan utama yang menjadi isu pemisahan Papua dari NKRI adalah Kemiskinan, pemerintah Indonesia yang tidak mampu mengentaskan kemiskinan di Papua menyebabkan isu-isu sparatis berkembang.

Kemiskinan Papua adalah salah satu akibat dari sistem Kapitalisme yang diterpakan di Indonesia, emas Papua yang seharusnya mampu memakmurkan rakyat Papua justru dirampok oleh Freeport dan perusahaan asing milik Kapitalis Penjajah.
Isu-isu HAM dan Demokrasilah yang sedang dikembangkan oleh Amerika Serikat agar Papua bisa lepas dari NKRI, dengan isu ini diharpakan akan terjadi referendum bagi tanah Papua. Yang selanjutnya mengantarkan Papua ke arah pemisahan diri dari NKRI.


Karena itu Wahai saudara ku atas nama  HAM, Demokrasi dan PBB inilah alat untuk menjajah barat kepada negri-negri kaum muslimin. dan hanya islamlah solusinya di bawah naungan syariah dan khilafah.
mari kita bersatu memperjuangkan tegaknya kalimat allah. .
Berhati-hatilah karena intelejen asing sudah ada di sekitar kita.
Mari kita sama - sama tegakkan kedaulatan NKRI (Negara Khilafah Rosidah Islamiyah) supaya tidak sampai terpecah belah kaum muslim seperti sekarang ini menjadi negara-nagara kecil.
Berita ini bukan sekedar omong kosong. Anda bisa bookmark postingan ini kemudian tunggu beberapa waktu nanti. jika pemerintah kita lemah, maka papua akan memisahkan diri dari kedaulatan RI.

Sabtu, 05 Maret 2011

Perubahan Melalui jalan umat (‘an thariq al-ummah ) bukanlah Berarti Melalui People Power atau Revolusi Rakyat.

Diposting pada Kamis, 10-02-2011 | 23:17:26 WIB

Beberapa pekan terakhir ini kita masih dihangatkan oleh berita terkait revolusi yang terjadi di beberapa belahan negeri muslim di tanah Arab seperti yang terjadi di Tunisia yang rakyatnya berhasil menggulingkan Preisiden Ben Ali yang telah berkuasa lebih dari 23 tahun. Aksi revolusi ini rupanya member ilham bagi sebagian negeri-negeri muslim terutama di tanah arab untuk melakukan aksi yang sama yakni turun ke jalan meminta penguasa turun dari tahta kekuasaannya. Di Indonesia, pun pernah terjadi hal yang serupa yakni pada tahun 1998 dimana rakyat dan mahasiswa berhasil menumbangkan rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Di Mesir pun, kini telah memasuki pekan yang kedua dalam rentetan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh rakyat Mesir untuk menuntuk rezim ditaktor Husni Mubarak untuk turun dari kursi kepresidenannya dimana ia telah berkuasa lebih kurang lebih 30 tahun. Dan tampaknya aksi turun ke jalan yang dilakukan rakyat Mesir tersebut berhasil, setidaknya Presiden Husni Mubarak mengatakan bahwa tidak akan mencalonkan diri lagi pada bulan September 2011 mendatang, dengan beralasan jika ia turun sekarang maka Mesir akan menjadi kacau. Permintaan Husni Mubarak tersebut tidak diinginkan oleh Rakyat Mesir, dimana rakyat Mesir menuntut Husni Mubarak agar segera turun dari kursi kepresidenannya.
Jika kita melihat realitas dari perubahan yang terjadi di atas, maka bisa kita simpulkan secara sederhana bahwa ternyata kekuatan untuk melakukan perubahan itu bisa datang dari luar parlemen, dan tidak selalu datang dari dalam parlemen. Dan setidaknya, belum pernah sejarah mencatat adanya perubahan yang bisa dilakukan dengan cara dari dalam parlemen, meskipun itu bisa dilakukan. Perubahan disini yang dimaksud adalah perubahan dari system kufur menjadi system Islam, atau dengan kata lain dari Negara kufur  (Darul Kufur) menjadi Negara Islam (Darul Islam).
Dari uraian singkat di atas, dapat kita simpulkan juga bahwa ternyata melaui rakyat atau umatlah perubahan itu dapat terwujud. Yakni tatkala umat semakin faham dan sadar akan tidak amanahnya pemimpin yang memipin mereka. Kesadaran tersebut menyebabkan umat meminta dan menuntut agar penguasa yang berkuasa agar turun dari tampuk kekuasaannya. Namun memang cukup disayangkan, umat yang telah faham dan sadar akan tidak amanahnya penguasa yang memimpin tersebut tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar pula akan rusaknya system yang diterapkan. Umat hanya baru melihat sosok yang memimpin tersebut, namun masih belum memahami bahwa persoalannya bukan hanya siapa yang memimpin namun juga adalah system apa yang digunakan untuk memimpin mereka tersebut.
Namun, dengan melihat realitas perubahan yang terjadi tersebut diatas dengan melalui revolusi rakyat, bukan berarti secara syara’ hal tersebut diperbolehkan. Maka persoalannya adalah bagaimana hukum syara’ terkait perubahan secara revolusi rakyat tersebut walaupun dengan cara melalui jalan umat (‘an thariq al-ummah).
Diatas dikatakan bahwa perubahan yang sedang kita maksud adalah perubahan dalam pengertian Islam, yakni dari system kufur menjadi system Islam, atau perubahan dari Negara kufur menjadi Negara Islam. Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan haruslah mencontoh terhadap apa yang telah Rasulullah saw lakukan ketika berhasil mendirikan daulah Islam di Madinah. Namun dalam hal ini, kita tidak akan membahas secara mendalam kajian seputar  marhalah dakwah Rasulullah, karena yang kita sedang bahas adalah persoalan perubahan melalui jalan umat, apakah secara people power atau ada cara lain.
Perubahan Melalui jalan umat.
1.       People Power.

People power adalah kekuatan rakyat; biasanya digunakan untuk melakukan perubahan dengan menjatuhkan rezim yang ada, lalu menggantinya dengan rezim yang baru. Perubahan dengan menggunakan kekuatan rakyat ini bisa digunakan untuk tujuan reformasi maupun revolusi, baik untuk mengubah sebagian sistem yang ada maupun mengubah seluruh sistem yang ada dengan sistem yang lain sama sekali. Ini sebagaimana yang kita bisa lihat apa yang telah terjadi baik di Tunisia, Indonesia maupun yang mungkin akan terjadi di Mesir.
Namun, sangat ironis ketika kita melihat bagaimana terjadinya perubahan itu. Bukanhkan tujuan dari perubahan adalah untuk menuju kepada sesuatu yang lebih baik? Namun faktanya, people power atau revolusi rakyat justru sering menimbulkan kekacauan yang luar biasa, termasuk mengorbankan hak milik umum negara seperti rambu-rambu lalu lintas yang dirusak, penjarahan, pengrusakan  fasilitas umum lainnya dan juga kepentingan rakyat. Bahkan kita pun bisa melihat banyaknya korban baik yang tmeninggal ataupun terluka dalam aksi tersebut. kondisi ini terjadi, tujuan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik jauh api dari panggang. Selain itu, cara seperti ini juga bisa memicu terjadinya konflik horisontal, yang mengakibatkan perpecahan di tengah-tengah umat. Pertanyaannya, mungkinkah membangun negara dan pemerintahan yang solid, sehingga seluruh sistemnya bisa dijalankan, jika umat dan rakyatnya terpecah-belah? Jelas tidak mungkin.
Disamping itu, metode perubahan seperti ini jelas bertentangan dengan hokum syara’ baik dalam hal aktivitas pengrusakan terhadap milik umum maupun metode perubahan itu sendiri yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, walaupun memang secara fakta tetap melalui keinginan umat secara umum.
2.       Membangun Kesadaran Umat
Alternatife yang kedua adalah dengan cara membangun kesadaran umat secara luas akan pentingnya sebuah perubahan yang tidak hanya sebatas perubahan rezim namun juga system. umat harus dipersiapkan agar meyakini dan menerima sistem Islam, baik sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum maupun politik luar negerinya. Sebab, kekuatan negara dan pemerintahan dalam pandangan Islam terletak pada umat. karena faktanya negara adalah entitas teknis yang mengimplementasikan seluruh konsepsi (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’ah) yang diterima oleh umat. Karena itu, penerimaan umat terhadap konsepsi standarisasi dan keyakinan Islam tersebut merupakan pilar dasar bagi tegaknya sistem Islam. Begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, pentingnya dilakukan tasqif kepada umat, baik tasqif murakazah (pembinaan secara intensif) maupun tasqif jama’iy (pembinaan umat secara umum). Umat harus difahamka n akan kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideology yang melahirkan system, yakni system  Islam. Sehingga akan menjadikan umat faham dan sadar, dengannya maka umat akan dengan sendirinya menginginkan perubahan baik secara kepemimpinan yang tidak amanah serta adanya perubahan system yang diterapkan sebelumnya.
Karena persoalanya bukan hanya siapa yang memimpin, namun system apa yang digunakan untuk memimpin. Taruhlah yang memimpin adalah seorang yang memang amanah, berakhlaq baik, namun system yang digunakan bukanlah system Islam, maka bisa dikatakan bahwa dia adalah pemimpin  yang shalih namun berada di tempat yang salah.
Proses Perubahan
Setelah umat difahamkan dan di sadarkan akan kesempurnaan Islam baik secara agama sekaligus sebagai sebuah ideology, maka aktivitas untuk mewujudkan perubahan selanjutnya adalah aktivitas thalab an-nushrah atau meminta kekuasaan. Hal inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw semenjak melakukan dakwah dari Makkah hingga berhasil mendirikan daulah Islam di Madinah.
Metode yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. cara yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam melakukan perubahan, termasuk di dalamnya membangun pemerintahan Islam, adalah melalui thalab an-nushrah; yakni dengan mencari pertolongan kepada siapa saja yang memang mempunyai kekuatan dan bisa menolong dakwah Beliau.

Karena pihak yang mempunyai kekuatan ketika itu adalah kepala suku dan kabilah, maka kepada merekalah Rasulullah saw. berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan pertolongan. Rasulullah pernah mendatangi Bani Tsaqif di Taif, Bani Hanifah, Bani Kalb, Bani Amir bin Sha’sha’ah dan sejumlah kabilah yang lain. Namun, ternyata semuanya menolak. Ada yang menolak dengan keras, bahkan tidak manusiawi, seperti yang Beliau alami di Taif, ada juga yang menolak tanpa syarat, seperti yang Beliau alami ketika menyatakan hasrat Beliau kepada Bani Hanifah, atau ditolak karena Beliau tidak mau mengabulkan syarat mereka, seperti yang Beliau alami dari Bani Amir bin Sha’sha’ah.
Dalam konteks sekarang, thalab an-nushrah bisa dilakukan terhadap kepala negara, kepala suku dan kabilah seperti di kepala-kepala suku di Pakistan dan Afghanistan, polisi, militer serta siapa saja yang mempunyai kekuatan dan pengaruh secara real di tengah masyarakat. Namun terlebih dahulu  mereka harus mengimani sistem Islam dan membenarkannya. Sebagaimana yang beliau lakukan dan minta kepada para kepala suku dari tiap-tiap kabilah maupun kepada para penguasa negeri-negeri arab pada waktu itu. Beliau pun meminta mereka untuk membenarkan Beliau, dan memberikan perlindungan kepadanya
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat) bukanlah people power atau revolusi rakyat, melainkan upaya sungguh-sungguh dan sistematik membangun sistem yang dibangun berdasarkan kekuatan umat, melalui keyakinan, dukungan dan implementasi mereka terhadap sistem tersebut. Adapun proses perubahannya dari sistem kufur ke sistem Islam hanya dilakukan melalui thalab an-nushrah, bukan dengan cara yang lain. Wallahu A’lam. []
sumber:
http://www.muslimdaily.net/artikel/islami/7083/perubahan-melalui-jalan-umat-%28%E2%80%98an-thariq-al-ummah-bukanlah-berarti-melalui-people-power-atau-revolusi-rakyat

Minggu, 26 Desember 2010

Komentar Penjelasan Ustadz Sigit Tentang Bentuk Busana Muslimah yang Benar

Senin, 27/12/2010 05:29 WIB | email | print | share
Yang saya hormati dan muliakan Para Redaksi eramuslim, dengan kerendahan hati ijinkan saya untuk menanggapi jawaban atas pertanyaan pada salah satu di kolom rubrik Ustadz-Menjwab yakni pertanyaan dari Ukhti Yulia yakni “Bentuk Busana Muslimah yang benar” dan pertanyaan tersebut telah di jawab oleh Ustadz Sigit Pranowo Lc.
Dalam penjelasannya, Ustadz Sigit Menjelaskan bahwa pakaian atas-bawah (baju dan rok lebar) selama pakaian itu memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syariat.
Diantara syarat-syarat itu adalah :
  1. Hendaknya pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dari kaum lelaki yang bukan mahramnya. Dan janganlah dia memperlihatkan anggota-anggota tubuhnya kepada mahramnya kecuali bagian-bagian yang dibolehkan oleh syariat, seperti wajah, kedua telpak tangan dan kedua pergelangan kakinya.
  2. Hendaknya pakaian itu tidak tipis (transparan) sehingga warna kulitnya dapat terlihat oleh orang dibelakangnya.
  3. Pakaian itu tidak sempit sehingga menampakkan bentuk-bentuk anggota tubuhnya.
  4. Pakaian itu tidak menyerupai pakaian kaum lelaki.
  5. Tidak terdapat berbagai hiasan di pakaian itu yang dapat mengundang perhatian orang-orang ketika dirinya keluar dari rumah. (Markaz al Fatwa No. 0428).
Kapasitas saya bukanlah membantah Penjelasan dari al-Ustadz Sigit Pranowo, namun hanya dalam kapasitas ingin turut serta dalam menjelaskan seputar pakain busana seorang muslimah baik ketika berada di dalam kehidupan khusus, maupun di dalam kehidupan umum. Ini karena, saya melihat pertanyaan ukhti Yulia adalah mempertanyakan seputar busana muslimah berupa gamis, di mana mungkin saja telah terjadi interaksi dia dengan pihak lain seputar busana muslimah yang syar’iy.
Masyarakat kita masih sering sekali salah salam memahami apa itu jilbab dan apa itu kerudung. Saya dulu pernah berdiskusi dengan salah satu teman, ketika saya tanya apa itu jilbab dan apa itu kerudung, maka dia spontan menjawab bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala yang berukuran lebar dan memanjang ke bawah sehingga jika di tutupkan ke kepala maka bagian bawahnya bisa sampai ke bagian pinggang seorang wanita. Mungkin ini yang saya sering dengar dengan istilah jilbaber. Dan kemudian dia juga menjelaskan bahwa yang di maksud dengan kerudung itu adalah kain penutup kepala yang biasanya hanya di tutupkan ke kepala tidak di balutkan, jadi seperti seolah kebaya penutup kepala yang rambutnya masih kelihatan.
Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas perempuan muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Al-Qur`an yang berbeda. Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab [33] : 59).
Karena al qur’an diturunkan dengan bahasa arab, maka kita harus mengembalikan tafsri surat di atas kedalam bahasa arab pula, bukan dengan bahasa kita. Karena untuk memahami Islam maka harus tahu bahasa arab, itulah kenapa bahasa arab hukumnya fardhu ’ain bagi orang Islam.
Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa’), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami’a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), Dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Ini juga sejalan dengan pendapat syaikh taqiyudin an nabhani dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i fil Islam, hal. 45-46). Beliau mengatakan bahwa jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) “mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh.

Bagaimana dengan kerudung atau khimar?
Kewajiban memakai khimar atau kerudung ini terdapat pada surah an Nur ayat 31 yang berbunyi,
Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…'
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-ra`su). (Tafsir Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul ‘Arabi, Ahkamul Qur`an, 6/65 ). Artinya, kerudung bukanlah sebatas kain yang dibalutkan ke kepala saja, namun sebuah kain yang dijadikan penutup kepala hingga menutupi dada mereka.
Kesimpulan dari dua hal di atas adalah jilbab bukanlah kerudung melainkan sebuah jubah yang mungkin bisa kita sebut sebagai sebuah gamis yang biasanya menutupi tubuh wanita muslimah.
Nah, jika telah jelas perkara di atas, maka mari kita kaji persolaan menutup aurat dan persoalan memakai busana muslimah. Kedua hal ini adalah dua hal yang berbeda, dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukan, karena jika dicampuradukan maka bisa menimbulkan persepsi yang salah terhadapnya.
Perlu difahami bahwa dalam syariah Islam dalam masalah menutup ’aurat atau satru al-’aurat, syariah tidak menjelaskan atau mensyaratkan pakaian tertentu atau bahan tertentu yang harus di pakai oleh seorang muslimah untuk menutupi ’auratnya. Di dalam syariat Islam cuma ada pensyaratan bahwa pakaian tersebut harus menutup aurat dan menutupi kulitnya. Jadi, seorang wanita boleh mengunakan pakaian jenis dan model tipe apapun untuk menutupi auratnya.
Yang manakah aurat wanita yang boleh tampak itu?
Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mungkin timbul pertanyaan, lha… kok dari penjelasan di atas wanita boleh memakai jenis pakain dan model apapun untuk menutupi auratnya?
Jawabannya adalah, karena kita sedang berbicara pada konteks kehidupan khusus seorang muslimah. Di dalam kehidupan khusus, maka seorang muslimah tidak wajib memakai jilbab, bukan berarti ia lantas menampakan auratnya, namun ia tetap menutupi auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram dia dan tidak memakai jilbab (gamis).
Sebagaimana ketika Rasulullah berada di rumah Abu bakar dan melihat putri Abu bakar yang tidak menutupi auratnya lantas rasulullah berkata, “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Lantas, kapankah jilbab itu harus di pakai oleh seorang muslimah?
Kita telah membahas seputar wanita yang telah menutupi auratnya tadi. Nah, walaupun ia telah menutupi auratnya dengan baik yakni warna kulitnya sudah tidak tampak dan semua anggota badannya telah tertutupi kecuali muka dan telapak tangan, maka bukan berarti ia boleh keluar rumah. Kenapa? Karena syariat Islam telah mengatur tentang memakai busana muslimah ketika keluar rumah dan di dalam rumah. Itulah sejak awal saya katakan, jangan mencampurkan kewajiban menutupi aurat dan kewajiban memakai pakaian muslimah.
Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat. Celana panjang atau baju potongan itu hanya boleh ia kenakan ketika berada di dalam rumah, dan ini termasuk ke dalam pakain mihnah atau pakaian keseharian wanita di dalam rumah. Dan ketika ada laki-laki non mahram yang ada di rumahnya, ia tetap boleh memakai pakain tersebut namun di tambah dengan pakain lain yang menutupi aurat dia yakni agar semua auratnya tertutupi kecuali yang biasa tampak yakni wajah dan telapak tangannya, dan tidak wajib baginya untuk memakai jilbab (baju gamis) didalam rumahnya.
Ketika berada di kehidupan umum, seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Adapun dalil-dalil yang menjelaskan seputar memakai jilbab ketika keluar rumah dan berada di area umum adalah sebagai berikut :
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82)
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
Wallahu A’lam
http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/komentar-penjelasan-ustadz-sigit-tentang-bentuk-busana-muslimah-yang-benar.htm

Minggu, 19 Desember 2010

[Keren]Industri dan Teknologi Militer Negara Khilafah


Masa awal pemerintahan Islam, jihad sebagai metode mendasar penyebaran dakwah Islam telah menjadi bagian penting dari upaya membangun kekuatan Daulah Islam. Jihad adalah perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah. Oleh sebab itu diperlukan persiapan baik logistik, formasi perang, strategi, komandan dan para pasukan serta persenjataan. Persenjataan mengharuskan adanya industri.
Persenjataan mengharuskan adanya industri.

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan unuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yg tidak kalian ketahui sedangkan Allah mengetahuinya.” [Q.S. Al-Anfal: 60]

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk membangun kekuatan agar musuh yang dihadapi merasa gentar. Sedangkan musuh tidak akan gentar kecuali dengan adanya persiapan, dan persiapan itu mengharuskan adanya industri persenjataan. Ayat di atas mengandung ‘illat syar’I bagi kaum Muslim untuk mempersiapkan kekuatan (kuda-kuda untuk berperang). Dan ‘melontarkan rasa takut kepada musuh’ merupakan ‘illat-nya.

Jadi, mendirikan industri militer/perang wajib hukumnya berdasarkan mafhum dari dalil tersebut.

Manjaniq (Swing-beam)

Manjaniq pertama kali digunakan oleh kaum Muslim pada peristiwa pengepungan Bani Thaif. Adalah Salman Al-Farisi -seorang Persia yang masuk Islam di masa Rasulullah Saw- orang pertama yang memproduksi senjata ini atas perintah Nabi Saw.

Manjaniq merupakan mesin balok pengayun yang dioperasikan oleh orang-orang yang menarik tali pada satu sisi balok sehingga ujung yang lain akan berayun sangat kuat dan menembakkan misil dari tali yang menempel pada ujungnya.[1]

Manjaniq sebenarnya telah dikenal sebelum masa penaklukan Islam. Bangsa Avar pernah menggunakannya pada penyerbuan Thessalonica di tahun 597 M. Bahkan mesin pelontar ini dipercayai dicipta pertama kali oleh China antara abad ke-5 dan ke-3 SM, dan sampai ke Eropa sekitar 500 M[2]. Lalu pada masa pemerintahan Islam, Salman mengusulkannya kepada Nabi Saw sebagai senjata perang, seperti yang diriwayatkan dalam Sirah al-Halabiyah.

“Hingga pada hari pecahnya dinding benteng Thaif,” demikian Ibnu Hisyam meriwayatkan dalam kitab Sirah-nya, “Sekelompok sahabat Rasulullah Saw masuk ke dalam bawah dababah[3], lalu mereka berusaha masuk ke dalam dinding benteng Thaif agar mereka bisa membakar pintu benteng. Bani Tsaqif lalu melemparkan potongan-potongan besi yag telah dipanaskan dengan api sehingga membakar dababah yang ada dibawahnya, kemudian Bani Tsaqif melempari mereka dengan anak panah sehingga beberapa orang gugur.” [4]

Atas usulan Salman ini, Nabi Saw langsung mengangkatnya sebagai mudir[5] untuk mengelola industri militer dan memproduksi manjaniq untuk memperkokoh kekuatan pasukan artileri yang dipersiapkan untuk terjun ke medan tempur.

Pedang Damaskus (Sword of Damascus)
Dihiasi dengan ornamen garis bergelombang, lentur, ringan, dan mampu menembus baju zirah, menjadikan pedang damaskus salah satu senjata perang paling bersejarah.

Pedang ini diproduksi di Damaskus pada abad ke-12 M.[6] Eropa lalu mencoba membuat yang serupa dengannya, namun hingga saat ini masih belum mampu meniru 100%. Bahkan dengan teknologi metalurgi sekalipun belum dapat membuat tandingan yang memiliki ketajaman yang sama dengan Pedang Damaskus ini.

Pedang yang pernah membuat gentar Pasukan Salib ini, memiliki semacam lapisan kaca di permukaannya. Sutra akan terbelah bila jatuh di atasnya. Pedang lain pun akan menemui nasib yang sama jika beradu dengannya. Tidak ada yang menyangka, bahwa ilmuwan Muslim telah menerapkan teknologi nano sejak seribu tahun yang lalu.



Selama ratusan tahun, tidak ada yang mengthui rahasia kehebatan pedang tanpa tanding ini. Adalah John D. Verhoeven -seorang profesor metalurgi modern dari Iowa State University- yang berkolaborasi dengan Alfred H. Pendray, seorang tukang besi dari Florida, yang telah mencoba membuat pedang ini selama bertahun-tahun. Dari penerapan nanoteknologi bahan impurities (non-besi dan non-carbon) dalam adonan baja yang membentuk pola mirip aliran air yang dikenal dengan Multi Walled Carbon Nano Tube[7], barulah diketahui rahasia di balik kehebatan pedang damaskus ini.

Teknologi Pembuatan Mesiu (Gunpowder)
Tidak hanya mumpuni dalam seni membuat pedang, kaum Muslim juga mampu mengembangkan teknologi pembuatan mesiu. Walaupun senyatanya bubuk mesiu pertama kali ditemukan di Cina yang digunakan sebagai alat pembakaran pada abad 9 M, dua abad sebelumnya seorang ahli kimia Muslim Khalid bin yazzid telah mengenal lebih dulu potassium nitrat (KNO3), bahan utama pembuat mesiu.


Eropa baru mengenal mesiu setelah dibawa oleh pasukan Mongol pada tahun 1240 M.[9] Dan selanjutnya dikembangkan menjadi bahan peledak, misalnya untuk mendorong peluru, kemudian seabad setelahnya disempurnakan menjadi senjata api.

Jauh sebelum Eropa mengembangkan teknologi pembuatan mesiu, ilmuwan-ilmuwan Muslim telah lebih dulu mencobanya. Banyak ilmuwan Mulim yang menguasai teknik pemurnian potassium, sebuah teknik yang tak diketahui oleh orang-orang Cina. Jabir Ibnu Hayyan (wafat tahun 815 M), Abu Bakar Al-Razi (wafat tahun 932), dan Hasan Al-Rammah adalah ilmuwan-ilmuwan Muslim yang telah menguasai teknik ini dan telah dijelaskan di dalam karya-karya mereka. Teknik pemurnian ini dilakukan agar potassium bisa digunakan sebagai bahan peledak.



Pemurnian potassium ini pernah diklaim Barat sebagai temuan Roger Bacon. Namun klaim ini dipatahkan sendiri oleh ilmuwan Barat lainnya yaitu Partington. Hasan Al-Rammah telah menjelaskan proses ini secara rinci di dalam karyanya Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah. Penguasaan Al-Rammah atas penggunaan bubuk mesiu sangat luar biasa. Ia telah berhasil menulis sebanyak 107 rumus atau resep penggunaan mesiu. 22 resep di antaranya diracik khusus untuk membuat roket.

Saat Perang Salib meletus tahun 1249 M, Raja louis IX dan para pasukannya pernah merasakan kehebatan moncong meriam dan roket kaum Muslim. Betapa hebatnya dampak proyektil yang ditembakkan pasukan Muslim, membuat Raja Louis IX kewalahan dan akhirnya takluk. Peristiwa itu diakui sendiri oleh Jean de Joinville, salah seorang perwira tentara Perang Salib.

The Mohammed’s Greats Gun
Inilah salah satu senjata paling fenomenal yang digunakan dalam perang paling menakjubkan sepanjang sejarah. The Mohammed’s Greats Gun, itulah sebutan senjata yang dibuat pada tahun 1942 ini . Meriam ini dibuat sebagai jawaban atas keinginan Muhammad al-Fatih untuk menjebol benteng pertahanan Kostantinopel.

Spoiler for meriam:


“Aku dapat membuat meriam tembaga dengan kapasitas seperti yang Anda inginkan,” kata Orban -seorang ahli insinyur yang diundang Al-Fatih ke Adrianopel-, “Aku telah mengamati secara detail tembok di Konstantinopel. Aku tidak hanya akan memorakporandakan tembok itu dengan senjataku. Bahkan, tembok Babilonia pun akan hancur karenanya.

Spoiler for meriam:


Tentu saja hal ini disambut gembira oleh Muhammad Al-Fatih. Impian untuk mewujudkan bisyarah Rasulullah Saw (tentang takluknya Kontantiopel) sudah di depan mata. Maka dijalankanlah proyek tersebut. Dan senjata terbesar di dunia yang pernah ada pada masanya akhirnya berada dalam genggaman Muhammad Al-Fatih. Memiliki panjang 8,2 meter, diameter 76 cm, dengan berat 18,2 ton, meriam ini sanggup melontarkan bola besi padat berdiameter 70 cm dengan berat 680 kg sejauh 1,6 km.

Militer Hebat, Negara pun Kuat
“Pasukan Utsmaniy sangat cepat gerakannya,” ujar Bertrand de Broquiere –seorang pengembara asal Perancis-, “Seratus pasukan kafir akan jauh lebih gaduh dari sepuluh ribu pasukan Utsmaniy. Tatkala genderang perang telah ditabuh, maka dengan segera mereka akan bergerak, mereka tidak akan berhenti melangkah hingga komando dikeluarkan. Mereka adalah pasukan yang terlatih. Dalam semalam mereka mampu melakukan tiga kali lipat perjalanan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya orang-orang kafir.”[11]

Kaum Muslim memang telah berhasil membangun angkatan bersenjata yang kuat dan pasukan yang terlatih. Walaupun tidak bisa dikatakan bahwa militer sebagai satu-satunya faktor penentu kemenangan di medan perang, tetapi ia merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab yang mengantarkan kepada kemenangan. Maka tak heran jika Rasul Saw sangat memperhatikan strategi perang, kekuatan pasukan, dan persenjataan di setiap peperangan. Dan selanjutnya juga menjadi perhatian para Khalifah pada masa sesudahnya.

Di masa Abbasiyah, sebagaimana yang dituturkan oleh Philip K. Hitti, “tentara kaum Muslim terdiri dari pasukan infanteri (harbiyah) yang bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan panah (ramiyah) dan kavaleri (fursan) yang mengenakan pelindung kepala dan dada, serta bersenjatakan tombak dan kapak. Tiap pasukan pemanah membawa pelontar nafa (naffathun), mengenakan pakaian anti api dan melontarkan bahan mudah terbakar ke pasukan musuh.”[12]

Penaklukan dan penyebaran Islam yang begitu massif bukanlah semata-mata karena militer yang kuat, tetapi faktor utama semua itu adalah ideologi Islam. Motivasinya pun bukan lantaran memburu ghanimah (harta rampasan perang) atau sumber daya alam.

KEREEEN

Apa itu khilafah?

Khilafah adalah Sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Allah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan.


Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.


«مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah. (Hadis Riwayat Muslim).



«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

“Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim).



«وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ»

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah serta telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Lalu jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher (bunuhlah) orang itu. (Hadis Riwayat Muslim).

Beberapa poin penting dalam sistem khilafah:
1. Seluruh umat Islam di dunia wajib berada di bawah 1 pemimpin yang disebut khalifah. Berdasarkan hadits Rasulullah: "Jika dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang kedua".
2.Khalifah tersebut kemudian mengangkat Amiir (gubernur) sebagai perpanjangan tangan dari khalifah untuk memimpin wilayah2 yang tersebar di seluruh dunia. Sehingga gubernur2 yang tersebar di seluruh wilayah Islam di dunia berada di bawah Khalifah (secara struktur) dan bertanggung jawab langsung kepada Khalifah.

Sabtu, 18 Desember 2010

Dalil-dalil Mengenai Kewajiban Menegakkan Negara Khilafah

Siapa di antara kita yang tidak mengetahui bahwa mendirikan Negara Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian adalah salah satu kewajiban terbesar dalam agama Islam? Kewajiban menegakkan Negara Khilafah sesungguhnya telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip dasar di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Untuk menjelaskan kebenaran pendapat ini, kalangan Ahlul Sunnah berhujjah dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan sejumlah kaidah ushul.

1. Dalil al-Quran

Dalil al-Quran yang berkaitan dengan kewajiban menegakkan Negara Khilafah, antara lain, firman Allah Swt. yang berbunyi:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan berbagai amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan memerintahkan kalian agar—jika kalian menetapkan hukum di antara manusia—membuat ketetapan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. (QS an-Nisâ’ [4]: 58).

Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, dalam karyanya, Wujûb Tathbîq asy-Syarî‘ah, halaman 301, antara lain, menyatakan:

Seruan (khithâb) dalam ayat ini mengandung perintah untuk menyampaikan berbagai amanat kepada kalangan yang berhak. Ketentuan ini bersifat umum menyangkut seluruh amanat. Oleh karena itu, agama adalah amanat; syariat adalah amanat; kekuasaan berdasarkan syariat pun adalah amanat.

Ibn Jarîr ath-Thabarî, dalam kitab tafsirnya, telah menukil sejumlah riwayat yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan para penguasa (wulât al-umûr). Beliau, antara lain, menuturkan riwayat yang bersumber dari Mush‘ab ibn Sa‘ad. Disebutkan bahwa ia telah menyatakan bahwa Sayyidina ‘Alî r.a. pernah mengucapkan kata-kata yang mengandung kebenaran. Sayyidina ‘Alî r.a., antara lain, berkata:

Seorang imam (khalifah) wajib menjalankan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanat. Jika dia mengerjakan hal ini, maka rakyat wajib mendengar dan menaatinya, sekaligus memenuhi seruannya jika mereka diseru.

Menurut Ibn Jarîr, pendapat yang paling tepat mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan seruan (khithâb) dari Allah Swt. kepada para penguasa (walî al-amri) kaum Muslim untuk menunaikan amanat yang telah diserahkan oleh kaum Muslim kepada mereka; baik dalam masalah fai’, penunaian hak-hak, dan urusan apa saja yang telah diamanatkan kepada mereka untuk dijalankan secara adil di antara kaum Muslim, dalam hal keputusan dan pembagian secara sama di antara mereka.

Sementara itu, Ibn Taymiyah mempunyai pendapat yang sangat berharga mengenai makna ayat di atas dan ayat sesudahnya. Silakan periksa pernyataannya dalam bukunya, As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, halaman 6-7.

Dalil lain dari al-Quran, misalnya, adalah firman Allah Swt. berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Sikap demikian adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59).

Mengomentari ayat di atas, Ibn Jarîr ath-Thabarî menyatakan:

Pendapat yang paling tepat mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ulil amri adalah para pemimpin (umarâ’) dan para penguasa (wulât). Mereka wajib ditaati di dalam perkara yang mengandung unsur ketaatan kepada Allah dan kemaslahatan bagi kaum Muslim.

Ibn Katsîr juga menyatakan, “Ayat tersebut bersifat umum untuk semua ulil amri, baik dari kalangan ulama maupun umarâ’.”

Tidak diragukan lagi bahwa perintah untuk menaati ulil amri mengandung perintah untuk mewujudkan orang yang berhak untuk ditaati. Yang dimaksud tidak lain adalah Khalifah.

Kedua ayat di atas mengandung pilar-pilar negara, yaitu: (1)

Para

penguasa, yaitu ulil amri. (2) Umat, yaitu pihak yang berkewajiban menaati ulil amri. (3). Undang-undang dan peraturan, yaitu hukum syariat.

Dua ayat di atas, sebagai representasi dari puluhan ayat lainnya, telah cukup menjadi dalil mengenai pelaksanaan hukum Allah; termasuk penegakan hudûd, qishâsh, dan jihad. Semua kewajiban jelas tidak akan pernah dapat diwujudkan, kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah) yang ditaati oleh kaum Muslim, yakni penguasa yang menjalankan agama Allah ‘Azza wa Jalla.

2. Dalil as-Sunnah

Hadis-hadis yang menjadi dasar kewajiban mendirikan Khilafah sangat banyak jumlahnya dan sangat masyhur. Imam al-Bukhârî—rahimahullâh—telah meletakkan sebuah pasal dalam Shahîh-nya. Di dalamnya, dihimpun sejumlah hadis sahih yang berkaitan dengan masalah Khilafah dan berbagai urusan pemerintahan. Pasal itu dinamai dengan Kitâb al-Ahkâm. Begitu pula dengan Imam Muslim—rahimahullâh. Beliau juga telah menghimpun dalam Shahîh-nya sejumlah hadis yang berhubungan dengan masalah Khilafah dan hukum-hukumnya. Himpunan hadis tersebut beliau sebut dengan Kitâb al-Imârah. Hal yang sama ditemukan di dalam seluruh kitab hadis yang ada.

Oleh karena itu, silakan Anda periksa kembali hadis-hadis tersebut, wahai saudaraku sesama Muslim. Coba Anda perhatikan, lantas apa pendapat Anda. Anda pasti akan segera menyimpulkan bahwa kita telah demikian melalaikan kewajiban mendirikan Khilafah ini. (Ya Allah, ampunilah kami!)

3. Dalil Ijma Sahabat

Ijma Sahabat, barangkali, merupakan dalil yang paling kuat mengenai masalah pengangkatan imam (khalifah). Alasannya, para sahabat, secara mutlak, merupakan generasi salaf ash-shâlih yang terbaik. Ijma Sahabat adalah dalil yang sangat kuat. Oleh karena itu, Imam Ahmad ibn Hanbal—yang bergelar Nâshir as-Sunnah (Penolong as-Sunnah) dan Qâmi’ al-Bid‘ah (Penghancur Bid‘ah)—bahkan pernah menyatakan, “Siapa saja mengklaim ada ijma—di luar Ijma Sahabat—berarti telah berdusta.”

Ijma Sahabat itu sendiri sesungguhnya telah ditetapkan oleh sejumlah nash yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Dhiyâ’uddîn ar-Rays, dalam bukunya, Al-Islâm wa al-Khilâfah, halaman 348, antara lain menyatakan demikian:

Ijma, sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama ushul, adalah dasar yang kuat di antara sumber-sumber syariat Islam. Ijma yang terkuat dan tertinggi martabatnya adalah Ijma Sahabat r.a. Alasannya, merekalah generasi pertama kaum Muslim. Mereka telah bergaul dengan Rasulullah saw. sekaligus menyertai beliau dalam sejumlah aktivitas jihad dan perjuangannya. Mereka telah mendengar sejumlah sabdanya. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui berbagai hukum dan rahasia ajaran Islam. Jumlah mereka terbatas dan Ijma mereka pun telah termasyhur.

Setelah Rasulullah saw. wafat, mereka telah bersepakat (berijma), antara lain, tentang keharusan adanya seseorang yang menggantikan kedudukan beliau (sebagai kepala negara, peny.). Mereka mengadakan pertemuan untuk memilih pengganti Rasulullah saw. Di antara mereka, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kaum Muslim tidak memerlukan seorang imam atau seorang khalifah. Walhasil, dengan ijma ini, terbuktilah kewajiban adanya Khilafah. Inilah dasar Ijma yang menjadi sandaran kewajiban adanya Khilafah.

Selanjutnya, Dhiyâ’uddîn ar-Rays menukil pernyataan Asy-Syahrustânî sebagai berikut:

Tidak pernah terbetik dalam hati Abû Bakar ash-Shidddîq, juga dalam hati salah seorang pun di kalangan para sahabat, bahwa bumi ini boleh kosong dari seorang imam (khalifah). Semua ini menunjukkan bahwa para sahabat, sebagai generasi pertama umat ini, seluruhnya telah berijma mengenai kewajiban adanya Khilafah.

4. Kaidah Syariat

Bagi mereka yang mengkaji secara benar agama Islam yang agung ini, tidak ada keraguan lagi bahwa berdirinya Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) bukanlah tujuan perjuangan itu sendiri, melainkan merupakan salah satu tuntutan dalam agama ini, karena ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Tidak ada keraguan lagi bahwa hal ini telah ditetapkan dalam syariat kita yang suci. Kaidah syariat menetapkan demikian:

Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya. []

[Sumber: Menegakkan Kembali Negara Khilafah, Abu Abdul Fattah, Ali Belhaj]