Check out the Latest Articles:

Minggu, 26 Desember 2010

Komentar Penjelasan Ustadz Sigit Tentang Bentuk Busana Muslimah yang Benar

Senin, 27/12/2010 05:29 WIB | email | print | share
Yang saya hormati dan muliakan Para Redaksi eramuslim, dengan kerendahan hati ijinkan saya untuk menanggapi jawaban atas pertanyaan pada salah satu di kolom rubrik Ustadz-Menjwab yakni pertanyaan dari Ukhti Yulia yakni “Bentuk Busana Muslimah yang benar” dan pertanyaan tersebut telah di jawab oleh Ustadz Sigit Pranowo Lc.
Dalam penjelasannya, Ustadz Sigit Menjelaskan bahwa pakaian atas-bawah (baju dan rok lebar) selama pakaian itu memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syariat.
Diantara syarat-syarat itu adalah :
  1. Hendaknya pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dari kaum lelaki yang bukan mahramnya. Dan janganlah dia memperlihatkan anggota-anggota tubuhnya kepada mahramnya kecuali bagian-bagian yang dibolehkan oleh syariat, seperti wajah, kedua telpak tangan dan kedua pergelangan kakinya.
  2. Hendaknya pakaian itu tidak tipis (transparan) sehingga warna kulitnya dapat terlihat oleh orang dibelakangnya.
  3. Pakaian itu tidak sempit sehingga menampakkan bentuk-bentuk anggota tubuhnya.
  4. Pakaian itu tidak menyerupai pakaian kaum lelaki.
  5. Tidak terdapat berbagai hiasan di pakaian itu yang dapat mengundang perhatian orang-orang ketika dirinya keluar dari rumah. (Markaz al Fatwa No. 0428).
Kapasitas saya bukanlah membantah Penjelasan dari al-Ustadz Sigit Pranowo, namun hanya dalam kapasitas ingin turut serta dalam menjelaskan seputar pakain busana seorang muslimah baik ketika berada di dalam kehidupan khusus, maupun di dalam kehidupan umum. Ini karena, saya melihat pertanyaan ukhti Yulia adalah mempertanyakan seputar busana muslimah berupa gamis, di mana mungkin saja telah terjadi interaksi dia dengan pihak lain seputar busana muslimah yang syar’iy.
Masyarakat kita masih sering sekali salah salam memahami apa itu jilbab dan apa itu kerudung. Saya dulu pernah berdiskusi dengan salah satu teman, ketika saya tanya apa itu jilbab dan apa itu kerudung, maka dia spontan menjawab bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala yang berukuran lebar dan memanjang ke bawah sehingga jika di tutupkan ke kepala maka bagian bawahnya bisa sampai ke bagian pinggang seorang wanita. Mungkin ini yang saya sering dengar dengan istilah jilbaber. Dan kemudian dia juga menjelaskan bahwa yang di maksud dengan kerudung itu adalah kain penutup kepala yang biasanya hanya di tutupkan ke kepala tidak di balutkan, jadi seperti seolah kebaya penutup kepala yang rambutnya masih kelihatan.
Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas perempuan muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Al-Qur`an yang berbeda. Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab [33] : 59).
Karena al qur’an diturunkan dengan bahasa arab, maka kita harus mengembalikan tafsri surat di atas kedalam bahasa arab pula, bukan dengan bahasa kita. Karena untuk memahami Islam maka harus tahu bahasa arab, itulah kenapa bahasa arab hukumnya fardhu ’ain bagi orang Islam.
Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa’), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami’a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), Dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Ini juga sejalan dengan pendapat syaikh taqiyudin an nabhani dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i fil Islam, hal. 45-46). Beliau mengatakan bahwa jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) “mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh.

Bagaimana dengan kerudung atau khimar?
Kewajiban memakai khimar atau kerudung ini terdapat pada surah an Nur ayat 31 yang berbunyi,
Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…'
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-ra`su). (Tafsir Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul ‘Arabi, Ahkamul Qur`an, 6/65 ). Artinya, kerudung bukanlah sebatas kain yang dibalutkan ke kepala saja, namun sebuah kain yang dijadikan penutup kepala hingga menutupi dada mereka.
Kesimpulan dari dua hal di atas adalah jilbab bukanlah kerudung melainkan sebuah jubah yang mungkin bisa kita sebut sebagai sebuah gamis yang biasanya menutupi tubuh wanita muslimah.
Nah, jika telah jelas perkara di atas, maka mari kita kaji persolaan menutup aurat dan persoalan memakai busana muslimah. Kedua hal ini adalah dua hal yang berbeda, dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukan, karena jika dicampuradukan maka bisa menimbulkan persepsi yang salah terhadapnya.
Perlu difahami bahwa dalam syariah Islam dalam masalah menutup ’aurat atau satru al-’aurat, syariah tidak menjelaskan atau mensyaratkan pakaian tertentu atau bahan tertentu yang harus di pakai oleh seorang muslimah untuk menutupi ’auratnya. Di dalam syariat Islam cuma ada pensyaratan bahwa pakaian tersebut harus menutup aurat dan menutupi kulitnya. Jadi, seorang wanita boleh mengunakan pakaian jenis dan model tipe apapun untuk menutupi auratnya.
Yang manakah aurat wanita yang boleh tampak itu?
Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mungkin timbul pertanyaan, lha… kok dari penjelasan di atas wanita boleh memakai jenis pakain dan model apapun untuk menutupi auratnya?
Jawabannya adalah, karena kita sedang berbicara pada konteks kehidupan khusus seorang muslimah. Di dalam kehidupan khusus, maka seorang muslimah tidak wajib memakai jilbab, bukan berarti ia lantas menampakan auratnya, namun ia tetap menutupi auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram dia dan tidak memakai jilbab (gamis).
Sebagaimana ketika Rasulullah berada di rumah Abu bakar dan melihat putri Abu bakar yang tidak menutupi auratnya lantas rasulullah berkata, “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Lantas, kapankah jilbab itu harus di pakai oleh seorang muslimah?
Kita telah membahas seputar wanita yang telah menutupi auratnya tadi. Nah, walaupun ia telah menutupi auratnya dengan baik yakni warna kulitnya sudah tidak tampak dan semua anggota badannya telah tertutupi kecuali muka dan telapak tangan, maka bukan berarti ia boleh keluar rumah. Kenapa? Karena syariat Islam telah mengatur tentang memakai busana muslimah ketika keluar rumah dan di dalam rumah. Itulah sejak awal saya katakan, jangan mencampurkan kewajiban menutupi aurat dan kewajiban memakai pakaian muslimah.
Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat. Celana panjang atau baju potongan itu hanya boleh ia kenakan ketika berada di dalam rumah, dan ini termasuk ke dalam pakain mihnah atau pakaian keseharian wanita di dalam rumah. Dan ketika ada laki-laki non mahram yang ada di rumahnya, ia tetap boleh memakai pakain tersebut namun di tambah dengan pakain lain yang menutupi aurat dia yakni agar semua auratnya tertutupi kecuali yang biasa tampak yakni wajah dan telapak tangannya, dan tidak wajib baginya untuk memakai jilbab (baju gamis) didalam rumahnya.
Ketika berada di kehidupan umum, seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Adapun dalil-dalil yang menjelaskan seputar memakai jilbab ketika keluar rumah dan berada di area umum adalah sebagai berikut :
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82)
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
Wallahu A’lam
http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/komentar-penjelasan-ustadz-sigit-tentang-bentuk-busana-muslimah-yang-benar.htm

Minggu, 19 Desember 2010

[Keren]Industri dan Teknologi Militer Negara Khilafah


Masa awal pemerintahan Islam, jihad sebagai metode mendasar penyebaran dakwah Islam telah menjadi bagian penting dari upaya membangun kekuatan Daulah Islam. Jihad adalah perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah. Oleh sebab itu diperlukan persiapan baik logistik, formasi perang, strategi, komandan dan para pasukan serta persenjataan. Persenjataan mengharuskan adanya industri.
Persenjataan mengharuskan adanya industri.

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan unuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yg tidak kalian ketahui sedangkan Allah mengetahuinya.” [Q.S. Al-Anfal: 60]

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk membangun kekuatan agar musuh yang dihadapi merasa gentar. Sedangkan musuh tidak akan gentar kecuali dengan adanya persiapan, dan persiapan itu mengharuskan adanya industri persenjataan. Ayat di atas mengandung ‘illat syar’I bagi kaum Muslim untuk mempersiapkan kekuatan (kuda-kuda untuk berperang). Dan ‘melontarkan rasa takut kepada musuh’ merupakan ‘illat-nya.

Jadi, mendirikan industri militer/perang wajib hukumnya berdasarkan mafhum dari dalil tersebut.

Manjaniq (Swing-beam)

Manjaniq pertama kali digunakan oleh kaum Muslim pada peristiwa pengepungan Bani Thaif. Adalah Salman Al-Farisi -seorang Persia yang masuk Islam di masa Rasulullah Saw- orang pertama yang memproduksi senjata ini atas perintah Nabi Saw.

Manjaniq merupakan mesin balok pengayun yang dioperasikan oleh orang-orang yang menarik tali pada satu sisi balok sehingga ujung yang lain akan berayun sangat kuat dan menembakkan misil dari tali yang menempel pada ujungnya.[1]

Manjaniq sebenarnya telah dikenal sebelum masa penaklukan Islam. Bangsa Avar pernah menggunakannya pada penyerbuan Thessalonica di tahun 597 M. Bahkan mesin pelontar ini dipercayai dicipta pertama kali oleh China antara abad ke-5 dan ke-3 SM, dan sampai ke Eropa sekitar 500 M[2]. Lalu pada masa pemerintahan Islam, Salman mengusulkannya kepada Nabi Saw sebagai senjata perang, seperti yang diriwayatkan dalam Sirah al-Halabiyah.

“Hingga pada hari pecahnya dinding benteng Thaif,” demikian Ibnu Hisyam meriwayatkan dalam kitab Sirah-nya, “Sekelompok sahabat Rasulullah Saw masuk ke dalam bawah dababah[3], lalu mereka berusaha masuk ke dalam dinding benteng Thaif agar mereka bisa membakar pintu benteng. Bani Tsaqif lalu melemparkan potongan-potongan besi yag telah dipanaskan dengan api sehingga membakar dababah yang ada dibawahnya, kemudian Bani Tsaqif melempari mereka dengan anak panah sehingga beberapa orang gugur.” [4]

Atas usulan Salman ini, Nabi Saw langsung mengangkatnya sebagai mudir[5] untuk mengelola industri militer dan memproduksi manjaniq untuk memperkokoh kekuatan pasukan artileri yang dipersiapkan untuk terjun ke medan tempur.

Pedang Damaskus (Sword of Damascus)
Dihiasi dengan ornamen garis bergelombang, lentur, ringan, dan mampu menembus baju zirah, menjadikan pedang damaskus salah satu senjata perang paling bersejarah.

Pedang ini diproduksi di Damaskus pada abad ke-12 M.[6] Eropa lalu mencoba membuat yang serupa dengannya, namun hingga saat ini masih belum mampu meniru 100%. Bahkan dengan teknologi metalurgi sekalipun belum dapat membuat tandingan yang memiliki ketajaman yang sama dengan Pedang Damaskus ini.

Pedang yang pernah membuat gentar Pasukan Salib ini, memiliki semacam lapisan kaca di permukaannya. Sutra akan terbelah bila jatuh di atasnya. Pedang lain pun akan menemui nasib yang sama jika beradu dengannya. Tidak ada yang menyangka, bahwa ilmuwan Muslim telah menerapkan teknologi nano sejak seribu tahun yang lalu.



Selama ratusan tahun, tidak ada yang mengthui rahasia kehebatan pedang tanpa tanding ini. Adalah John D. Verhoeven -seorang profesor metalurgi modern dari Iowa State University- yang berkolaborasi dengan Alfred H. Pendray, seorang tukang besi dari Florida, yang telah mencoba membuat pedang ini selama bertahun-tahun. Dari penerapan nanoteknologi bahan impurities (non-besi dan non-carbon) dalam adonan baja yang membentuk pola mirip aliran air yang dikenal dengan Multi Walled Carbon Nano Tube[7], barulah diketahui rahasia di balik kehebatan pedang damaskus ini.

Teknologi Pembuatan Mesiu (Gunpowder)
Tidak hanya mumpuni dalam seni membuat pedang, kaum Muslim juga mampu mengembangkan teknologi pembuatan mesiu. Walaupun senyatanya bubuk mesiu pertama kali ditemukan di Cina yang digunakan sebagai alat pembakaran pada abad 9 M, dua abad sebelumnya seorang ahli kimia Muslim Khalid bin yazzid telah mengenal lebih dulu potassium nitrat (KNO3), bahan utama pembuat mesiu.


Eropa baru mengenal mesiu setelah dibawa oleh pasukan Mongol pada tahun 1240 M.[9] Dan selanjutnya dikembangkan menjadi bahan peledak, misalnya untuk mendorong peluru, kemudian seabad setelahnya disempurnakan menjadi senjata api.

Jauh sebelum Eropa mengembangkan teknologi pembuatan mesiu, ilmuwan-ilmuwan Muslim telah lebih dulu mencobanya. Banyak ilmuwan Mulim yang menguasai teknik pemurnian potassium, sebuah teknik yang tak diketahui oleh orang-orang Cina. Jabir Ibnu Hayyan (wafat tahun 815 M), Abu Bakar Al-Razi (wafat tahun 932), dan Hasan Al-Rammah adalah ilmuwan-ilmuwan Muslim yang telah menguasai teknik ini dan telah dijelaskan di dalam karya-karya mereka. Teknik pemurnian ini dilakukan agar potassium bisa digunakan sebagai bahan peledak.



Pemurnian potassium ini pernah diklaim Barat sebagai temuan Roger Bacon. Namun klaim ini dipatahkan sendiri oleh ilmuwan Barat lainnya yaitu Partington. Hasan Al-Rammah telah menjelaskan proses ini secara rinci di dalam karyanya Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah. Penguasaan Al-Rammah atas penggunaan bubuk mesiu sangat luar biasa. Ia telah berhasil menulis sebanyak 107 rumus atau resep penggunaan mesiu. 22 resep di antaranya diracik khusus untuk membuat roket.

Saat Perang Salib meletus tahun 1249 M, Raja louis IX dan para pasukannya pernah merasakan kehebatan moncong meriam dan roket kaum Muslim. Betapa hebatnya dampak proyektil yang ditembakkan pasukan Muslim, membuat Raja Louis IX kewalahan dan akhirnya takluk. Peristiwa itu diakui sendiri oleh Jean de Joinville, salah seorang perwira tentara Perang Salib.

The Mohammed’s Greats Gun
Inilah salah satu senjata paling fenomenal yang digunakan dalam perang paling menakjubkan sepanjang sejarah. The Mohammed’s Greats Gun, itulah sebutan senjata yang dibuat pada tahun 1942 ini . Meriam ini dibuat sebagai jawaban atas keinginan Muhammad al-Fatih untuk menjebol benteng pertahanan Kostantinopel.

Spoiler for meriam:


“Aku dapat membuat meriam tembaga dengan kapasitas seperti yang Anda inginkan,” kata Orban -seorang ahli insinyur yang diundang Al-Fatih ke Adrianopel-, “Aku telah mengamati secara detail tembok di Konstantinopel. Aku tidak hanya akan memorakporandakan tembok itu dengan senjataku. Bahkan, tembok Babilonia pun akan hancur karenanya.

Spoiler for meriam:


Tentu saja hal ini disambut gembira oleh Muhammad Al-Fatih. Impian untuk mewujudkan bisyarah Rasulullah Saw (tentang takluknya Kontantiopel) sudah di depan mata. Maka dijalankanlah proyek tersebut. Dan senjata terbesar di dunia yang pernah ada pada masanya akhirnya berada dalam genggaman Muhammad Al-Fatih. Memiliki panjang 8,2 meter, diameter 76 cm, dengan berat 18,2 ton, meriam ini sanggup melontarkan bola besi padat berdiameter 70 cm dengan berat 680 kg sejauh 1,6 km.

Militer Hebat, Negara pun Kuat
“Pasukan Utsmaniy sangat cepat gerakannya,” ujar Bertrand de Broquiere –seorang pengembara asal Perancis-, “Seratus pasukan kafir akan jauh lebih gaduh dari sepuluh ribu pasukan Utsmaniy. Tatkala genderang perang telah ditabuh, maka dengan segera mereka akan bergerak, mereka tidak akan berhenti melangkah hingga komando dikeluarkan. Mereka adalah pasukan yang terlatih. Dalam semalam mereka mampu melakukan tiga kali lipat perjalanan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya orang-orang kafir.”[11]

Kaum Muslim memang telah berhasil membangun angkatan bersenjata yang kuat dan pasukan yang terlatih. Walaupun tidak bisa dikatakan bahwa militer sebagai satu-satunya faktor penentu kemenangan di medan perang, tetapi ia merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab yang mengantarkan kepada kemenangan. Maka tak heran jika Rasul Saw sangat memperhatikan strategi perang, kekuatan pasukan, dan persenjataan di setiap peperangan. Dan selanjutnya juga menjadi perhatian para Khalifah pada masa sesudahnya.

Di masa Abbasiyah, sebagaimana yang dituturkan oleh Philip K. Hitti, “tentara kaum Muslim terdiri dari pasukan infanteri (harbiyah) yang bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan panah (ramiyah) dan kavaleri (fursan) yang mengenakan pelindung kepala dan dada, serta bersenjatakan tombak dan kapak. Tiap pasukan pemanah membawa pelontar nafa (naffathun), mengenakan pakaian anti api dan melontarkan bahan mudah terbakar ke pasukan musuh.”[12]

Penaklukan dan penyebaran Islam yang begitu massif bukanlah semata-mata karena militer yang kuat, tetapi faktor utama semua itu adalah ideologi Islam. Motivasinya pun bukan lantaran memburu ghanimah (harta rampasan perang) atau sumber daya alam.

KEREEEN

Apa itu khilafah?

Khilafah adalah Sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Allah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan.


Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.


«مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah. (Hadis Riwayat Muslim).



«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

“Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim).



«وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ»

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah serta telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Lalu jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher (bunuhlah) orang itu. (Hadis Riwayat Muslim).

Beberapa poin penting dalam sistem khilafah:
1. Seluruh umat Islam di dunia wajib berada di bawah 1 pemimpin yang disebut khalifah. Berdasarkan hadits Rasulullah: "Jika dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang kedua".
2.Khalifah tersebut kemudian mengangkat Amiir (gubernur) sebagai perpanjangan tangan dari khalifah untuk memimpin wilayah2 yang tersebar di seluruh dunia. Sehingga gubernur2 yang tersebar di seluruh wilayah Islam di dunia berada di bawah Khalifah (secara struktur) dan bertanggung jawab langsung kepada Khalifah.

Sabtu, 18 Desember 2010

Dalil-dalil Mengenai Kewajiban Menegakkan Negara Khilafah

Siapa di antara kita yang tidak mengetahui bahwa mendirikan Negara Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian adalah salah satu kewajiban terbesar dalam agama Islam? Kewajiban menegakkan Negara Khilafah sesungguhnya telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip dasar di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Untuk menjelaskan kebenaran pendapat ini, kalangan Ahlul Sunnah berhujjah dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan sejumlah kaidah ushul.

1. Dalil al-Quran

Dalil al-Quran yang berkaitan dengan kewajiban menegakkan Negara Khilafah, antara lain, firman Allah Swt. yang berbunyi:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan berbagai amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan memerintahkan kalian agar—jika kalian menetapkan hukum di antara manusia—membuat ketetapan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. (QS an-Nisâ’ [4]: 58).

Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, dalam karyanya, Wujûb Tathbîq asy-Syarî‘ah, halaman 301, antara lain, menyatakan:

Seruan (khithâb) dalam ayat ini mengandung perintah untuk menyampaikan berbagai amanat kepada kalangan yang berhak. Ketentuan ini bersifat umum menyangkut seluruh amanat. Oleh karena itu, agama adalah amanat; syariat adalah amanat; kekuasaan berdasarkan syariat pun adalah amanat.

Ibn Jarîr ath-Thabarî, dalam kitab tafsirnya, telah menukil sejumlah riwayat yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan para penguasa (wulât al-umûr). Beliau, antara lain, menuturkan riwayat yang bersumber dari Mush‘ab ibn Sa‘ad. Disebutkan bahwa ia telah menyatakan bahwa Sayyidina ‘Alî r.a. pernah mengucapkan kata-kata yang mengandung kebenaran. Sayyidina ‘Alî r.a., antara lain, berkata:

Seorang imam (khalifah) wajib menjalankan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanat. Jika dia mengerjakan hal ini, maka rakyat wajib mendengar dan menaatinya, sekaligus memenuhi seruannya jika mereka diseru.

Menurut Ibn Jarîr, pendapat yang paling tepat mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan seruan (khithâb) dari Allah Swt. kepada para penguasa (walî al-amri) kaum Muslim untuk menunaikan amanat yang telah diserahkan oleh kaum Muslim kepada mereka; baik dalam masalah fai’, penunaian hak-hak, dan urusan apa saja yang telah diamanatkan kepada mereka untuk dijalankan secara adil di antara kaum Muslim, dalam hal keputusan dan pembagian secara sama di antara mereka.

Sementara itu, Ibn Taymiyah mempunyai pendapat yang sangat berharga mengenai makna ayat di atas dan ayat sesudahnya. Silakan periksa pernyataannya dalam bukunya, As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, halaman 6-7.

Dalil lain dari al-Quran, misalnya, adalah firman Allah Swt. berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Sikap demikian adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59).

Mengomentari ayat di atas, Ibn Jarîr ath-Thabarî menyatakan:

Pendapat yang paling tepat mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ulil amri adalah para pemimpin (umarâ’) dan para penguasa (wulât). Mereka wajib ditaati di dalam perkara yang mengandung unsur ketaatan kepada Allah dan kemaslahatan bagi kaum Muslim.

Ibn Katsîr juga menyatakan, “Ayat tersebut bersifat umum untuk semua ulil amri, baik dari kalangan ulama maupun umarâ’.”

Tidak diragukan lagi bahwa perintah untuk menaati ulil amri mengandung perintah untuk mewujudkan orang yang berhak untuk ditaati. Yang dimaksud tidak lain adalah Khalifah.

Kedua ayat di atas mengandung pilar-pilar negara, yaitu: (1)

Para

penguasa, yaitu ulil amri. (2) Umat, yaitu pihak yang berkewajiban menaati ulil amri. (3). Undang-undang dan peraturan, yaitu hukum syariat.

Dua ayat di atas, sebagai representasi dari puluhan ayat lainnya, telah cukup menjadi dalil mengenai pelaksanaan hukum Allah; termasuk penegakan hudûd, qishâsh, dan jihad. Semua kewajiban jelas tidak akan pernah dapat diwujudkan, kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah) yang ditaati oleh kaum Muslim, yakni penguasa yang menjalankan agama Allah ‘Azza wa Jalla.

2. Dalil as-Sunnah

Hadis-hadis yang menjadi dasar kewajiban mendirikan Khilafah sangat banyak jumlahnya dan sangat masyhur. Imam al-Bukhârî—rahimahullâh—telah meletakkan sebuah pasal dalam Shahîh-nya. Di dalamnya, dihimpun sejumlah hadis sahih yang berkaitan dengan masalah Khilafah dan berbagai urusan pemerintahan. Pasal itu dinamai dengan Kitâb al-Ahkâm. Begitu pula dengan Imam Muslim—rahimahullâh. Beliau juga telah menghimpun dalam Shahîh-nya sejumlah hadis yang berhubungan dengan masalah Khilafah dan hukum-hukumnya. Himpunan hadis tersebut beliau sebut dengan Kitâb al-Imârah. Hal yang sama ditemukan di dalam seluruh kitab hadis yang ada.

Oleh karena itu, silakan Anda periksa kembali hadis-hadis tersebut, wahai saudaraku sesama Muslim. Coba Anda perhatikan, lantas apa pendapat Anda. Anda pasti akan segera menyimpulkan bahwa kita telah demikian melalaikan kewajiban mendirikan Khilafah ini. (Ya Allah, ampunilah kami!)

3. Dalil Ijma Sahabat

Ijma Sahabat, barangkali, merupakan dalil yang paling kuat mengenai masalah pengangkatan imam (khalifah). Alasannya, para sahabat, secara mutlak, merupakan generasi salaf ash-shâlih yang terbaik. Ijma Sahabat adalah dalil yang sangat kuat. Oleh karena itu, Imam Ahmad ibn Hanbal—yang bergelar Nâshir as-Sunnah (Penolong as-Sunnah) dan Qâmi’ al-Bid‘ah (Penghancur Bid‘ah)—bahkan pernah menyatakan, “Siapa saja mengklaim ada ijma—di luar Ijma Sahabat—berarti telah berdusta.”

Ijma Sahabat itu sendiri sesungguhnya telah ditetapkan oleh sejumlah nash yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Dhiyâ’uddîn ar-Rays, dalam bukunya, Al-Islâm wa al-Khilâfah, halaman 348, antara lain menyatakan demikian:

Ijma, sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama ushul, adalah dasar yang kuat di antara sumber-sumber syariat Islam. Ijma yang terkuat dan tertinggi martabatnya adalah Ijma Sahabat r.a. Alasannya, merekalah generasi pertama kaum Muslim. Mereka telah bergaul dengan Rasulullah saw. sekaligus menyertai beliau dalam sejumlah aktivitas jihad dan perjuangannya. Mereka telah mendengar sejumlah sabdanya. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui berbagai hukum dan rahasia ajaran Islam. Jumlah mereka terbatas dan Ijma mereka pun telah termasyhur.

Setelah Rasulullah saw. wafat, mereka telah bersepakat (berijma), antara lain, tentang keharusan adanya seseorang yang menggantikan kedudukan beliau (sebagai kepala negara, peny.). Mereka mengadakan pertemuan untuk memilih pengganti Rasulullah saw. Di antara mereka, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kaum Muslim tidak memerlukan seorang imam atau seorang khalifah. Walhasil, dengan ijma ini, terbuktilah kewajiban adanya Khilafah. Inilah dasar Ijma yang menjadi sandaran kewajiban adanya Khilafah.

Selanjutnya, Dhiyâ’uddîn ar-Rays menukil pernyataan Asy-Syahrustânî sebagai berikut:

Tidak pernah terbetik dalam hati Abû Bakar ash-Shidddîq, juga dalam hati salah seorang pun di kalangan para sahabat, bahwa bumi ini boleh kosong dari seorang imam (khalifah). Semua ini menunjukkan bahwa para sahabat, sebagai generasi pertama umat ini, seluruhnya telah berijma mengenai kewajiban adanya Khilafah.

4. Kaidah Syariat

Bagi mereka yang mengkaji secara benar agama Islam yang agung ini, tidak ada keraguan lagi bahwa berdirinya Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) bukanlah tujuan perjuangan itu sendiri, melainkan merupakan salah satu tuntutan dalam agama ini, karena ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Tidak ada keraguan lagi bahwa hal ini telah ditetapkan dalam syariat kita yang suci. Kaidah syariat menetapkan demikian:

Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya. []

[Sumber: Menegakkan Kembali Negara Khilafah, Abu Abdul Fattah, Ali Belhaj]

Kamis, 16 Desember 2010



Ilustrasi (blogspot.com/kembarasalik)
dakwatuna.com – Untuk mengawali tulisan ini, penulis ingin mengemukakan pengakuan seorang istri yang menulis sebuah Buku ‘Ala al-Jisr (di atas jembatan). Buku ini ditulis sebagai bukti kecintaannya kepada suaminya, Amin Khuli . inilah sebagian cuplikan itu…
Tampak pada diri kita, bagi kita dan bersama kita, tanda-tanda Allah yang maha besar. Dia yang telah menciptakan kita dari jiwa yang satu. Kita dulu adalah satu yang tak terbilang, kesatuan yang tak bisa dibagi-bagi. Kisah perjalanan adalah legenda zaman, belum pernah dunia mendengarnya dan tidak mungkin terulang lagi sampai sang waktu akan berakhir punah.
Dr. Aisyah abd. al-Rahman/Bint al-Syati’

Sepanjang sejarah manusia, laki-laki dan perempuan saling membutuhkan satu sama lainnya, bahkan bagi nabi Adam, surga pun terasa kurang lengkap tanpa seorang pendamping (Hawa). Perempuan adalah permata yang memancarkan aura kekuatan yang akan membuat laki-laki menjadi super, dari malas menjadi semangat, dari lemah menjadi kuat, dan dari harapan menjadi kenyataan. Perempuan juga membuat hati yang kasar menjadi lembut, tangis menjadi tawa, dan sebaliknya bisa membuat laki-laki  menjadi sosok yang kejam dan menakutkan. Fakta sejarah membuktikan bahwa dalam setiap kesuksesan orang besar, di belakangnya seringkali ada sosok perempuan yang selalu mensupportnya.  Dan juga sebaliknya, sejarah pertumpahan darah sering kali terjadi demi memperebutkan seorang  perempuan. Qabil adalah actor pertama dalam sejarah pembunuhan manusia yang dilakukan pada saudaranya sendiri Habil, demi sosok perempuan yang bernama Iqlima.
Demikianlah sunnatullah bahwa yang namanya laki-laki membutuhkan perempuan, dan sebaliknya perempuan juga membutuhkan sosok laki-laki, yang akan melindunginya, menjadi imam dalam menempuh perjalanan hidupnya, dan menjadi  pembela dalam setiap desah nafasnya.
Di sinilah dibutuhkan tali sebagai penghubung yang akan mengikat antar keduanya,  membangun bersama rumah surgawi, dan  mencetak  generasi-generasi Islami. Itulah pernikahan. Untuk mewujudkan semua itu, kita harus merumuskan siapakah sosok ideal yang akan menjadi pendamping hidup kita, sehingga kita dan pasangan kita akan merasa menjadi manusia yang paling bahagia. Dan mungkin kelak akan menjadi kenangan indah yang takkan pernah terlupakan sepanjang masa seperti kokohnya Tajmahal yang menjadi lambang kecintaan suami pada istri tercintanya, mumtaz.  Inilah contoh-contoh  untuk membangun ” Baiti Jannati” rumahku adalah surgaku…
Alangkah indahnya punya sosok istri seperti Siti Khadijah, istri yang membuat nabi selalu ingat sepanjang masa, istri yang selalu ada dalam bahagia maupun duka, menghiburnya saat beliau bersedih, dan menjadi tempat curahan keluh-kesahnya.  Sosok istri yang posisinya tak tergantikan sehingga nabi sulit melupakannya, bahkan sampai tiga atau empat tahun setelah kewafatannya baru nabi mencari penggantinya. nabi pernah berkata pada Siti Aisyah “Allah tidak mengganti Khadijah dengan yang lebih baik, dia percaya padaku saat semua orang tidak mempercayaiku, dia membenarkan aku saat semua manusia mendustakanku, berbagi harta denganku saat semua orang mengharamkan padaku. Dan Allah memberikan keturunan darinya dimana Allah mengharamkan dari yang lainnya.
Alangkah bahagianya seorang istri yang mempunyai sosok suami seperti Rasulullah, suami yang memanggil Siti Aisyah dengan sebutan “Ya Humaira’”, suami yang bila istrinya keluar rumah digandeng dan dihantar sampai ke atas kendaraan, sosok suami yang membuat Siti Aisyah menangis terharu saat melihat suaminya tertidur di depan pintu, saat itu nabi kemalaman datang berkunjung ke rumah Siti Aisyah. Paginya Siti Aisyah minta maaf, tapi apa jawaban nabi, tidak Aisyah, aku yang salah, aku terlalu malam datang ke sini.
Alangkah beruntungnya suami yang mempunyai istri seperti Siti Hajar yang rela di tinggal suami di sebuah lembah yang tak berpenghuni dalam keadaan menyusui karena demi sebuah perintah.  Atau seperti istrinya Umar bin Abdul Aziz yang rela meninggalkan harta perhiasannya dan memilih ikut bersama suaminya. Dan masih banyak contoh-contoh sosok suami-istri yang membangun rumah tangganya bak taman surgawi.
Namun alangkah malangnya suami-Istri yang tidak bisa saling membahagiakan, tidak bisa saling mengalah, dan tidak bisa saling mengerti. Alangkah malangnya suami jika punya istri yang berkarir hingga pulang larut malam, tidak ada yang menyambut suami ketika datang dari kantor , tidak ada senyum manis sang istri di depan pintu, dan istri sudah tidak sempat lagi membuatkan masakan untuk suaminya. Semuanya pada sibuk, rumah hanya sebagai tempat istirahat dengan segala kelelahan yang dibawa dari tempat kerja masing-masing, rumah hanya menjadi tempat pelampiasan kemarahan, pertengkaran sering mewarnai keseharian, dan ketika di tegur, Istri selalu berdalih emansipasi wanita yang kadang dengan alasan seperti ini istri sering melupakan kewajibannya. Anak-anak kurang mendapatkan kasih sayang, dan suami sudah tidak lagi merindukan senyum sang istri. Apakah keluarga seperti ini yang dirindukan? “
Baiti Jannati” rumahku adalah surgaku bukan untuk diimpikan tapi harus diusahakan. Kebahagiaan tidak datang begitu saja, harus ada upaya dari keduanya. Suami-istri harus bisa merawat,  saling melengkapi satu sama lain, dan saling memahami hak dan kewajiban masing-masing sehingga rumah tangga itu bisa tetap utuh. Dengan saling memahami dan berusaha untuk saling memberikan yang terbaik, Insya Allah rumah surgawi akan menjadi kenyataan bukan hanya impian.
(hdn)

Senin, 13 Desember 2010

Jika Bukan Ahlinya Yang Mengurus, Tunggulah Kehancuran..!


Selasa, 26/10/2010 22:48 WIB | email | print | share

إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ
فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (BUKHARI - 6015)
Sungguh benarlah ucapan Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam di atas. "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Amanah yang paling pertama dan utama bagi manusia ialah amanah ketaatan kepada Allah, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta dengan segenap isinya. Manusia hadir ke muka bumi ini telah diserahkan amanah untuk berperan sebagai khalifah yang diwajibkan membangun dan memelihara kehidupan di dunia berdasarkan aturan dan hukum Yang Memberi Amanah, yaitu Allah subhaanahu wa ta’aala.
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”(QS Al-Ahzab 72)
Amanat ketaatan ini sedemikian beratnya sehingga makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung saja enggan memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian ketika ditawarkan kepada manusia, amanat itu diterima. Sehingga dengan pedas Allah ta’aala berfirman: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” Sungguh benarlah Allah ta’aala...! Manusia pada umumnya amat zalim dan amat bodoh. Sebab tidak sedikit manusia yang dengan terang-terangan mengkhianati amanat ketaatan tersebut. Tidak sedikit manusia yang mengaku beriman tetapi tatkala memiliki wewenang kepemimpinan mengabaikan aturan dan hukum Allah ta’aala. Mereka lebih yakin akan hukum buatan manusia –yang amat zalim dan amat bodoh itu- daripada hukum Allah ta’aala. Oleh karenanya Allah hanya menawarkan dua pilihan dalam masalah hukum. Taat kepada hukum Allah atau hukum jahiliah? Tidak ada pilihan ketiga. Misalnya kombinasi antara hukum Allah dengan hukum jahiliah.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ
حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)
Dewasa ini kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di negeri kita yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Belum selesai mengurus dua kecelakaan kereta api sekaligus, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan dengan erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah. Belum lagi ibukota Jakarta dilanda banjir massif yang mengakibatkan kemacetan dahsyat di setiap sudut kota, bahkan sampai ke Tangerang dan Bekasi. Siapa sangka banjir di Jakarta bisa terjadi di bulan Oktober, padahal jadwal rutinnya biasanya di bulan Januari atau Februari..?
Lalu bagaimana hubungan antara berbagai musibah dengan pengabaian hukum Allah? Simaklah firman Allah ta’aala berikut:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah 49)
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa Allah mengancam bakal terjadinya musibah bila suatu kaum berpaling dari hukum Allah. Dan tampaknya sudah terlalu banyak dosa yang dilakukan ummat yang mengaku beriman di negeri ini sehingga musibah yang terjadi harus berlangsung beruntun. Dan dari sekian banyak dosa ialah tentunya dosa berkhianat dari amanah ketaatan kepada Allah ta’aala. Tidak saja sembarang muslim di negeri ini yang mengabaikan aturan dan hukum Allah, tetapi bahkan mereka yang dikenal sebagai Ulama, Ustadz, aktifis da’wah dan para muballigh-pun turut membiarkan berlakunya hukum selain hukum Allah. Hanya sedikit dari kalangan ini yang memperingatkan ummat akan bahaya mengabaikan hukum Allah.

Sungguh benarlah ucapan Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."
 

Selasa, 30 November 2010

Adakah Dalil yang Mewajibkan Kaum Muslimin Mendirikan Negara?

Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 21 September 2010
Pertanyaan : Beberapa pihak menyatakan bahwa dalam menjalankan ajaran Islam tidak perlu negara, tetapi sudah bisa dijalankan oleh individu saja. Oleh karena itu, menurut mereka, tuntutan penerapan syariah Islam oleh negara adalah suatu hal yang mengada-ada, atau politisasi agama. Hal ini karena sama sekali tidak ada dalil baik dalam Al Quran atau Hadis yang memerintahkan pendirian negara. Benarkah demikian ?
Jawaban :
Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits nabi saw digunakan dua pendekatan.  Pertama, memahami pengertian secara tersurat, secara langsung dari lafazh-lafazh al-Quran maupun as-Sunah.  Ini yang sering dikatakan sebagai pengertian secara harfiah.  Sedangkan para ulama menyebutnya sebagai manthûq.   Yakni pengertian tersurat, pengertian yang langsung dipahami dari lafazh (kata) atau dari bentuk lafazh yang terkandung dalam nash.  Kedua, pengertian secara tersirat.  Yaitu pengertian yang dipahami bukan dari lafazh atau bentuk lafazh secara langsung, tetapi dipahami melalui penafsiran secara logis dari petunjuk atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang dinyatakan dalam nash.  Kita sering menyebutnya sebagai pengertian kontekstual.  Sedang para ulama menyebutnya dengan istilah mafhûm.  Makna ini merupakan akibat (konsekuensi) logis makna yang dipahami secara langsung dari lafazh.  Makna ini menjadi kelaziman makna lafazh secara langsung.  Artinya makna ini menjadi keharusan atau tuntutan makna lafazh.  Dan para ulama menyebutnya sebagai dalâlah al-iltizâmDalâlah al-iltizâm ini dapat dibagi menjadi : dalâlah al-iqtidhâ’, dalâlah tanbîh wa al-imâ’, dalâlah isyârah dam dalâlah al-mafhûm yang terdiri dari mafhûm muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah (pengertian berkebalikan).   Namun perlu diingat bahwa pengambilan pengertian dari nash syara’ baik secara manthuq maupun secara mafhum tidak boleh keluar dari ketentuan pengambilan pengertian dalam bahasa arab.
Dengan menggunakan dua pendekatan ini maka kita akan mendapati bahwa al-Quran dan as-Sunnah serta didukung oleh Ijma’ Sahabat telah mewajibkan kita mendirikan pemerintahan atau negara.  Dalil-dalil serta penarikan argumentasi wajibnya kita mendirikan negara/pemerintahan itu adalah sebagai berikut :
Pertama, Allah Swt telah memerintahkan kita untuk menaati ulil amri.  Allah Swt berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (TQS. an-Nisâ’ [04]: 59)
Ibn Athiyah menyatakan bahawa ayat ini merupakan perintah untuk menaati Allah, Rasul-Nya dan para penguasa.  Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama: Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, Ibn Zaid dan lain-lain.[1]
Lebih jauh ayat ini juga memerintahkan kita untuk mewujudkan penguasa yang kita wajib mentaatinya.  Semua yang dinyatakan oleh Allah adalah benar.  Allah Swt juga tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mungkin kita laksanakan.  Kewajiban menaati ulil amri itu akan bisa kita laksanakan jika sosok ulil amri itu wujud (ada).  Jika tidak ada, maka tidak bisa.  Padahal, itu adalah kewajiban dan tidak mungkin Allah salah memberikan kewajiban.  Maka sebagai konsekuensi kebenaran pernyataan Allah itu, maka sesuai ketentuan dalâlah al-iltizâm, perintah menaati ulil amri juga merupakan perintah mewujudkan ulil amri sehingga kewajiban itu bisa kita laksanakan.  Maka ayat tersebut juga bermakna, realisasikan atau angkatlah ulil amri diantara kalian dan taatilah ia.  Yang dimaksud ulil amri dalam ayat ini adalah penguasa.
Kedua, Allah memerintahkan untuk menerapkan syariat Islam.  Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 49)
Kedua ayat di atas secara tersurat memerintahkan Rasul untuk menghukumi (memerintah) dengan apa yang diturunkan oleh Allah.  Kata mâ anzala Allâh, kata ini merupakan lafazh umum makna ayat tersebut adalah hukumi (perintahlah) mereka sesuai dengan apa saja yang diturunkan oleh Allah kepadamu wahai Muhammad dan jangan kamu mengikuti yang lain.  Karena yang lain itu berasal dari hawa nafsu yang hanya akan menyebabkanmu menyimpang dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Sekalipun mukhathab (orang yang diseru) secara langsung dalam ayat ini adalah Rasul, namun seruan ini juga merupakan seruan bagi kita, umat Rasul, karena kaedah syara’ mengatakan
[ خِطَابُ الرَّسُوْلِ خِطَابٌ ِلأُمَّتِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلٌ يُخَصِّصُ بِهِ ]
Seruan kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya selama tidak datang dalil yang mengkhususkan kepadanya [2]
Sementara tidak ada satu dalil pun yang mengkhususkan seruan itu hanya bagi rasul.  Oleh karenanya, seruan dalam kedua ayat di atas juga merupakan seruan kepada kita.
Kemudian terhadap perintah di atas datang berbagai qarinah (indikasi) yang mengindikasikan bahwa perintah tersebut sifatnya adalah tegas.  Indikasi-indikasi tersebut adalah firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang zalim (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 47)
Disifatinya orang yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam) sebagai orang zalim, fasik atau kafir, menunjukkan adanya celaan atasnya.  Jika perintah melakukan sesuatu, lalu orang yang tidak melakukannya mendapat celaan, maka itu menunjukkan bahwa perintah tersebut sifatnya tegas yakni wajib.  Dengan demikian perintah Allah untuk menghukumi manusia menggunakan apa-apa yang diturunkan oleh Allah yakni dengan syariat Islam adalah wajib.
Disamping itu banyak nash yang menjelaskan hukum-hukum rinci baik dalam masalah jihad, perang dan hubungan luar negeri; masalah pidana seperti hukum potong tangan bagi pencuri, qishash bagi pembunuh, jilid atau rajam bagi orang yang berzina, jilid bagi qadzaf (menuduh seseorang berzina dan tidak bisa mendatangkan empat orang saksi) dan sebagainya; hukum masalah muamalah semisal jual beli, utang piutang, pernikahan, waris, persengketaan harta, dan sebagainya.  Semua hukum itu wajib kita laksanakan.
Hukum-hukum itu tentu saja tidak bisa dilaksanakan secara individual.   Akan tetapi sudah menjadi pengetahuan bersama dan tidak ada satu orangpun yang memungkirinya, bahwa penerapan hukum-hukum itu hanya melalui institusi negara dan dilaksanakan oleh penguasa.  Jadi pelaksanaan berbagai kewajiban itu yaitu kewajiban menghukumi segala sesuatu dengan syariat Allah itu hanya akan sempur bisa kita laksanakan jika ada negara dan penguasa yang mengadopsi dan menerapkannya.  Berdasarkan kaedah
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib [3]
Kewajiban menghukumi segala hal dengan syariat Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya negara dan penguasa yang bertindak sebagai pelaksana (munaffidz), maka mewujudkan negara dan penguasa yang menerapkan syariat Islam itu menjadi wajib.
Dari sejumlah nash di atas menjadi jelas bahwa kita diperintahkan untuk mendirikan negara dan mengangkat penguasa.  Hal itu merupakan kewajiban,  Juga jelas bahwa negara dan penguasa yang wajib kita wujudkan itu bukan sembarang negara dan sembarang penguasa.  Akan tetapi negara yang wajib kita wujudkan itu adalah negara yang menerapkan hukum-hukum Allah.  Karena pendirian negara itu adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban menghukumi segala sesuai dengan hukum-hukum Allah.  Sedangkan penguasa yang wajib kita angkat melihat dari nash-nash diatas haruslah berasal dari kalangan kita yakni kaum muslim karena dalam QS. an-Nisa ayat 59 itu disebutkan minkum (dari kalian), sementara kalian yang dimaksud adalah kaum mukmin.  Dan sifat yang kedua adalah bahwa penguasa itu kita angkat untuk menerapkan hukum-hukum Islam.  Karena ia kita angkat dalam rangka melaksanakan kewajiban menghukumi sesuai hukum Allah.  Semua ini menegaskan kepada kita bahwa metode satu-satunya untuk menerapkan Islam secara total adalah negara (daulah). (www.konsultasi.wordpress.com)

Minggu, 28 November 2010

AL-Mu'tasim

Dahulu, di masa keemasan Islam, ada seorang teladan abadi sepanjang masa. Dia adalah khalifah al-Mu’tasim, khalifah Bani Abbasiyah (833-842 Masehi). Dialah yang menyambut seruan seorang muslimah yang dilecehkan tentara Romawi dengan mengirimkan pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah dan melibas seluruh tentara kafir Romawi di sana hingga bebaslah sang muslimah tadi dari tawanan Romawi. Kini, ketika ribuan muslimah dan muslim ditawan tentara-tentara kafir, dimanakah Al-Mu’tasim hari ini?
Teladan Heroik Pejuang Muslim
Kisah heroik Al-Mu’tashim dicatat dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 223 Hijriyyah, dalam judul Penaklukan kota Ammuriah.
Ketika itu, al-Mu’tasim, khalifah di masa Bani Abbasiyah, sedang memegas gelas untuk minum ketika didengarnya seorang muslimah dilecehkan oleh tentara Romawi. Khalifah pun langsung berseru kepada panglima perangnya agar bersiap menuju Ammuriah, tempat dimana muslimah tersebut berteriak meminta tolong.
Konon, muslimah itu keturunan Bani Hashim dan sedang berbelanja di sebuah pasar di kawasan negeri di bawah kekuasaan Romawi, di utara benua Asia, yakni tepatnya di kota Ammuriah, kawasan Turki hari ini. Di saat sedang berjalan itulah, sang muslimah diganggu oleh seorang lelaki Romawi dengan menyentuh ujung jilbabnya hingga dia secara spontan berteriak : “Wa Mu’tashamah….!!!” Yang juga berarti “Dimana kau Mu’tasim…Tolonglah Aku”
Teriakan muslimah tersebut akhirnya sampai ke telinga Khalifah al-Mu’tasim. Puluhan ribu tentara pun digelar mulai dari gerbang ibukota di Baghdad hingga ujungnya mencapai kota Ammuriah. Pembelaan kepada muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh khalifah sebagai pembebasan Ammuriah dari jajahan Romawi.
Catatan sejarah menyatakan bahwa ribuan tentara Muslim bergerak di bulan April, 833 Masehi dari Baghdad menuju Ammuriah. Kota Ammuriah dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu’tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi.
Hanya seorang Muslimah yang dilecehkan kafir Romawi dan berteriak ‘Wahai Mu’tasim” maka sang khalifah tersentuh hatinya dan terbakar ghiroh Islamnya sehingga dilancarkanlah serangan penaklukan ke Ammuriah hingga sang Muslimah akhirnya bisa dibebaskan. Allahu Akbar!
Sejak Dahulu Kaum Muslimin Wajib Dibela!
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, dikisahkan ada seorang tukang emas Yahudi Bani Qainuqa menganiaya kehormatan seorang Muslimah dengan mengikat pinggir bajunya sehingga menyebabkan tubuhnya tersingkap. Saat itu, seorang pria Muslim kebetulan berada di sana dan membunuh orang Yahudi itu. Kemudian orang-orang Yahudi membalas dengan membunuh orang muslim itu. Keluarga pria itu memanggil kaum Muslimin untuk membantu dan Nabi SAW., mengirimkan pasukan melawan mereka dan setelah 15 hari pengepungan seluruh suku Bani Qainuqa diusir dari Madinah. Subhanallah!
Di masa Khalifah Umar bin Abdul-Aziz, beliau pernah mengirim surat kepada para tahanan perang Muslim di Konstantinopel. Beliau mengatakan kepada mereka:
“Kamu menganggap dirimu sebagai tahanan perang. Padahal kamu bukan tahanan perang. Kamu terkunci di jalan Allah. Aku ingin kamu tahu bahwa setiap kali aku memberikan sesuatu kepada kaum Muslim, aku memberikan lebih banyak untuk keluarga kamu dan aku mengirimkan sekitar 5 dinar untuk setiap salah satu dari kamu dan seandainya bukan karena aku takut bahwa diktator Romawi akan mengambilnya dari kalian, aku akan mengirimkan lebih. Aku juga telah mengirim banyak untuk menjamin pembebasan setiap salah satu dari kalian tanpa memikirkan berapa biayanya. Jadi bersukacitalah! Assalamu Alaikum. “

Dimanakah Al-Mu’tasim Hari Ini?

Kini, berapa banyak Muslimah yang dilecehkan kehormatannya oleh kuffar ? Berapa banyak Muslimah yang berteriak meminta tolong dari kedzoliman yang dideritanya? Berapa banyak kaum Muslimin yang ditawan pemerintahan kafir maupun pemerintahan murtad ? Bukankah sudah terdengar teriakan mereka dari penjara di Guantanamo (Cuba), Abu Gharib (Irak), Bagram (Afghanistan), Gaza (Palestina) Nusa Kambangan (Indonesia), dan penjara-penjara Amerika dan Inggris di seluruh dunia. Dimanakah Al-Mu’tasim hari ini?
Bukankah saudari Muslimah kita Afia Siddiqui sudah berteriak meminta pertolongan dari penjara pemerintahan Pakistan? Juga saudara Muslimah kita, Putri Munawaroh berteriak meminta pertolongan dari kedzoliman penjara Mako Brimob?
Bukankah Rasulullah SAW., bersabda,
Berikanlah makan pada seseorang yang merasa lapar, kunjungilah seseorang yang sakit dan bebaskanlah seseorang yang ditawan.”
Beliau SAW., juga bersabda,
Adalah sebuah kewajiban bagi Muslim dari harta mereka untuk membebaskan orang-orang yang berada dalam tahanan dan membayar  tebusan.”
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
Jika mereka menahan seorang Muslim, adalah sebuah kewajiban kita untuk tetap memerangi mereka sampai mereka membebaskan mereka atau mereka di musnahkan,”
dan dia juga berkata,
Membebaskan Muslim dari tahanan adalah salah satu kewajiban yang besar dan membelanjakan kekayaan untuk membebaskan mereka adalah salah satu bentuk mendekatkan diri kepada Allah yang paling baik.”
Sahabat Umar Ibnu Khattab RA berkata,
Bagiku membebaskan seorang Muslim yang berada ditangan Musyirikin lebih aku sukai daripada seluruh Jazirah Arab.” (Shahih Shahabi Jilid. 3).
Sejarah Islam telah menorehkan dengan tinta emas kisah-kisah heroik dan tauladan abadi dari mereka-mereka yang membela kehormatan kaum Muslimin yang ditawan musuhnya. Khalifah al-Mu’tasim adalah salah satu contoh yang paling fenomenal dalam menanggapi panggilan seorang Muslimah yang didzolimi kaum kafir. Kini, kaum Muslimin di pelbagai penjuru dunia banyak dilecehkan dan ditawan di banyak penjara kaum kuffar. Lalu, dimanakah al-Mutasim hari ini?
Wallahu’alam bis showab!

bangkitnya KHILAFAH kembali merupakan suatu yang urgen bagi kita, tidak ada jalan lain !!!!!!!
hanya khilafah lah yang mampu memporak porandakan negri kaum kafir yang jelas-jelas memerangi umat islam...TAKBIR

TIDAK ADA KEMULYAAN TANPA ISLAM
TIDAK ADA ISLAM TANPA SYARIAH
TIDAK ADA SYARIAH TANPA ADANYA KHILAFAH



Ya allah saksikanlah,,,,,,,,,,,,,
(M Fachry/arrahmah.com)
Raih amal shalih, sebarkan informasi ini…
Source: http://arrahmah.com/index.php/blog/read/9003/dimanakah-al-mutasim-hari-ini#ixzz0S1sIgMRO

Jumat, 26 November 2010


Pemimpin Pembawa Rahmat


“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, lalu Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri. Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.” (Al-An’am: 6)
Sudah sekian kali Allah membinasakan bangsa-bangsa yang mendustai agama. Sebelumnya, mereka dikokohkan Allah kedudukannya dengan harta, keturunan, dan kesejahteraan. Allah juga menurunkan air hujan yang deras. Allah jadikan sungai-sungai mengalir sehingga menumbuhkan tanaman dan kebun buah-buahan. Mereka benar-benar merasakan kesenangan duniawi. Namun mereka tidak pandai bersyukur. Mereka tidak dapat mengendalikan nafsu. Justru mengikuti syahwat. Setiap datang Rasul yang diutus, mereka dustakan. Karena itu, Allah membinasakan mereka lantaran dosa-dosa dan kemaksiatan itu. Lalu Allah mengganti mereka dengan generasi yang lain. Ini adalah sunnatullah bagi orang-orang yang mendustai agama.

Di antara bangsa yang telah dianugerahkan Allah kekuatan dan kesejahteraan hidup adalah Fir’aun. Fir’aun memiliki struktur kenegaraan dan kekuatan militer yang hebat. Tapi, karena berpaling dari ajakan Nabi Musa, Allah tidak segan-segan membinasakan mereka dengan menenggelamkan di lautan. Begitu juga Kaum ‘Ad. Penduduk kota Iram ini diberi Allah kekuatan konstruksi bangunan nan kokoh. Lalu Allah binasakan mereka dengan mengirimkan angin puyuh yang mematikan karena pembangkangan mereka terhadap aturan Allah.

Demikian pula Kaum Tsamud. Mereka diberikan Allah kemampuan yang fisik prima. Mereka mampu memecahkan bebatuan di lembah-lembah, kemudian Allah membumihanguskan mereka dengan mengirimkan petir halilintar yang menyambar mereka dalam keadaan sadar. Juga kaum Nuh yang dengan sangat mudah ditenggelamkan Allah lantaran dosa-dosa mereka. Allah Maha Kuat Maha Perkasa tiada tandingan bagiNya. Apapun kekuatan dan kemampuan yang dimiliki makhlukNya, jika Allah berkehendak untuk menghancurkannya, niscaya dalam waktu sekejap saja dapat dilakukanNya.

Imam Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya, “Apakah orang-orang kafir itu tidak sadar bahwa Allah telah berkali-berkali membinasakan bangsa-bangsa para pendusta rasul. Allah pun menganugrahkan mereka kesejahteraan, kebebasan di bumi dan fasilitas hidup lainnya, tetapi disayangkan nikmat-nikmat tersebut membuat mereka sombong tidak menerima kebenaran. Bahkan ketika Allah menurunkan air hujan dan sungai-sungai mengalir di perkebunan dan pertanian mereka, sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan nikmat-nikmat tersebut. Tetapi mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat itu, mereka lupa bahkan melakukan perbuatan dosa dan maksiat.” (Al-Maraghi 7:75-76).

Selanjutnya Al-Maraghi menjelaskan 2 macam dosa, ada dosa berupa pendustaan terhadap ajaran rasul dan dosa berupa kufur nikmat dengan melakukan kezaliman-kezaliman dan perbuatan destruktif.

Dari penjelasan di atas, bencana alam yang menimpa suatu bangsa merupakan teguran Allah swt. kepada bangsa yang melakukan salah satu dari dua kategori dosa sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Maraghi.

Secara spesifik Rasulullah saw. pun menerangkan keterkaitan antara bencana dengan moralitas dalam sebuah haditsnya yang artinya, “Wahai sahabat Muhajirin, lima perkara ini apabila kalian diuji dengannya maka kalian akan menerima cobaan dan berbagai siksaan. Aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak mengalaminya: Apabila masyarakat itu banyak melaksanakan perbuatan keji (zina), maka penyakit kolera dan penyakit yang tidak pernah menimpa umat terdahulu akan mewabah. Apabila masyarakat tidak mau mengeluarkan zakat, maka mereka telah menahan tetesan air dari langit andai saja bukan untuk memberi minum binatang, mereka tidak akan diberi air hujan. Apabila masyarakat itu melanggar janji Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan membuat musuh-musuh menguasai mereka, kemudian musuh tersebut akan merampas sebagian hak milik mereka. Apabila pemimpin masyarakat itu tidak memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah dan ‘memilih-milih’ apa yang diturunkan Allah, maka Allah akan mengirimkan malapetaka kepada mereka.” (Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya, demikian Imam Adz-Dzhabi menyepakatinya).

Hadits tersebut juga sebagai penjelasan dari firman Allah swt., “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)

Al-Fasad (kerusakan) yang muncul di suatu masyarakat, baik di darat maupun di lautan semata-mata karena ulah dan laku manusia yang destruktif. Allah sengaja ingin menegur mereka, dengan harapan mereka dapat meninggalkan perbuatan mereka yang mengakibatkan kerusakan, sehingga mereka memperbaiki diri kemudian istiqomah dalam ketaatan dan ketakwaan. (Taysir 6/135).

Dengan kata lain agar dapat keluar dari krisis yang melanda suatu bangsa adalah dengan kembali ke jalan yang benar. Lebih tegas dan konkret lagi Allah menjelaskan maksud jalan yang benar itu adalah ad-din al-qayyim, yakni agama yang lurus (baca: Ar-Rum 43) dengan mengarahkan wajah dan wijhah (orientasi hidup) kita kepada ajaran Allah yang benar, yaitu Al-Islam. Karena Allah Sang Pencipta manusia, Allah pula Sang Konseptor Al-Islam, Allah jua Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia, maka Dia-lah Sang Maha Mengetahui kunci dan rahasia kebahagiaan hakiki.

Bangsa kita kini tengah menghadapi berbagai permasalahan serius akibat krisis yang berkepanjangan dan tidak menentu. Akhir-akhir ini di banyak wilayah Indonesia dilanda banjir, tidak sedikit masyarakat yang terjangkit busung lapar atau kurang gizi. Negara yang dahulunya dikenal dengan kesuburan tanah dan keindahan panoramanya, kini seakan semua kebaikan itu sirna dan pupus.

Dalam keyakinan setiap muslim, bahwa gejala alam tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ada yang mengatur dan memerankannya. Bangunan langit yang begitu megahnya, hamparan bumi yang demikian menakjubkan, hidup berpasangan dari makhluk-makhluk yang unik, semua itu tidak terjadi “sim sala bim”, tetapi Allah swt. lah yang menciptakan, mengatur dan memerankan keajaiban-keajaiban alam itu.

Karenanya, upaya hujan buatan dalam penanggulangan kekeringan, menyantuni korban bencana alam, peduli kepada kaum papa dan nestapa hanyalah sebagai solusi praktis yang bersifat sementara dan sesaat atau bersifat insidentil.

Sebenarnya solusi mengakar dan jalan keluar hakiki adalah kembali kepada Allah yaitu AL-Quran,Hadits, ijma sahabat dan Qiyas saat kita menghadapi permasalahan hidup dengan berbagai kendala dan rintangannya. Kembali kepada Allah artinya meninggalkan segala perbuatan maksiat, termasuk tatanan hukum yang bukan berasal dari allah dan segala bentuk dosa, memperbaiki kesalahan-kesalahan pribadi dan konstitusi, baik pada tataran masyarakat maupun tataran pemimpin dengan hukum yang berasal dari ALLAH SWT.

Karenanya menjadi urgen bagi kita untuk kembali kepada jalan allah memiliki pemimpin –di semua level– yang tangguh, baik lahir batin, sehat mental spiritual dan fisikal. yaitu dengan adanya khilafah yang menerapkan syariat islam secara kaffah.
TIDAK ADA KEMULYAAN TANPA ISLAM, TIDAK ADA ISLAM TANPA SYARIAT, DAN TIDAK ADA SYARIAT TANPA ADANYA KHILAFAH,,,TAKBIR  !!!!!!!!!!1

Selasa, 23 November 2010

APA PUN KEADAANNYA, SUKURILAH NIKMAT YANG DIBERIKAN ALLAH SWT...........
Dimanapun kalian berada, untuk sejenak mari kita merenung dan meresapi kehidupan yang telah kita dapatkan saat ini. Sudahkah kita bersyukur atas segala yang telah kita miliki dan nikmati hari ini?
Mari kita perhatikan dengan seksama beberapa keadaan dibawah ini, lihat dan rasakanlah dengan hatimu . . . . .

Jika kita memiliki Gedung yang tinggi, Apartement mewah,
coba lihatlah mereka.





Jikalau kita kira pekerjaan kita memuakan,
bagaimana dengan dia?



Jikalau kita kira gaji kita rendah, bagaimana dengan dia?





Seorang sahabat adalah siapapun!





Jikalau kita kira belajar adalah membosankan,
bagaimana dengan dia ?





Ketika kita merasa putus asa,
mari sejenak kita berfikir tentang pria ini ?





Masihkah kita bermalas-malasan?



 

Jika kita sering "ngedumel" tentang sistem transportasi yang ada saat ini. Bagaimana dengan mereka?





Dahulu di saat kita kecil dimanja dan di sayang,
Bagaimana dengan dia? Nampak manjakah dia?





Kita sering mengeluh tentang makanan yang sedang kita santap,
bagaimana dengan dia?





Masihkah kita berfikir untuk membentak dan melawan ibu kita?





Sudahlah kita mengasuhnya dengan baik, toh pada akhirnya kelak kita akan seperti dia, tua, renta dan pikun?






















Sahabat . . .
bersyukurlah dengan apa yang kita dapat saat ini . . . .
dan smoga renungan yang sedikit ini dapat membawa kita semua kepada
Pemberi Nikmat yang sesungguh'Nya !
yang senantiasa kita naifkan, lupakan dan abaikan . . .


Amin . . . .

Kamis, 18 November 2010

Jakarta (Arrahmah.Com) - Mungkin kebanyakan orang mengenal Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sebagai seorang ulama sepuh yang kharismatik. Kiprah dakwah beliau bukan lagi di tataran lokal negeri ini. Bermula dari sikapnya yang tanpa tedeng aling-aling dalam menyampaikan kebenaran kepada rezim yang berkuasa membuatnya keluar masuk hotel prodeo hingga akhirnya beliau hijrah ke Malaysia.
Hijrahnya ke Malaysia tidak membuat alumnus Universitas Al-Irysad ini diam dan tak berbuat apa pun. Seperti yang pernah dikatakan beliau, “hijrah itu bukan semata-mata melarikan diri melainkan menyusun strategi”. Benar saja, Allah Justru membuka peluang yang luas di luar negeri untuk berdakwah, beliau pernah mengisi pengajian dari mulai di Malaysia, Singapura bahkan  di Australia.
Siapa sangka Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dengan pengalamannya yang malang melintang di dunia dakwah ternyata pada awalnya beliau merupakan seorang aktivis Pelajar dan Mahasiswa. Menurut pengakuan beliau ia pernah menjadi anggota Pandu Islam (mungkin sekarang Pramuka), kemudian ketika di Ponpes Gontor beliau masuk PII (Pelajar Islam Indonesia). Lulus dari Gontor beliau melanjutkan kuliah di Universitas Al-Irsyad Solo di sanalah beliau menjadi aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan sempat memegang jabatan strategis yakni pimpinan Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI).
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sang mantan aktivis kampus ini sekarang kembali di tahan sejak 9 Agustus 2010. Dengan tragis usai safari dakwah mobilnya digiring ke dalam Polres Banjar dan ditangkap Densus 88 laknatullah. Meski beliau sekarang sedang mendapatkan fitnah dari rezim thaghut  negeri ini tak henti-hentinya beliau berdakwah, menyampaikan taushiyah atau bahkan seruan yang beliau tujukan kepada berbagai kalangan. Bahkan beberapa kali saat dikunjungi beliau terus menyebut-nyebut peran mahasiswa. Inilah seruan beliau kepada mahasiswa Islam yang diambil dari Sel tahanan Bareskrim Mabes Polri.
Saya harapkan mahasiswa Islam alangkah baiknya kalau mahasiswa Islam yang mempelopori tegaknya Negara Islam, entek-entekan (Bahasa Jawa), habis-habisan tidak apa-apa!

Mahasiswa mengadakan revolusi seperti zaman Soeharto, tetapi tujuannya tegas, berlakunya hukum Islam 100 % itu tujuannya, karena itu tuntutan ‘aqidah, itu hak-hak kita. Maka sekarang ini status Islam dan umat Islam itu hidup di masa penjajahan, bukan penjajahan ekonomi tetapi penjajahan ‘aqidah, kita tidak boleh melaksanakan hukum Islam 100%. Jadi kita ini hidup di masa penjajahan, tidak ada bedanya dengan zaman Belanda, kalau dulu yang menjajah Belanda sekarang yang menjajah kaum Nasionalis thaghut-thaghut itu.
Harus berani mahasiswa itu! Jangan sekedar mengadakan revolusi dengan mengganti thaghut Soeharto (mengganti thaghut lama dengan thaghut baru, pen.) tetapi revolusi kembali kepada tegaknya Islam, itu artinya jihad juga.
Para ulama mengartikan jihad itu dengan perang atau dengan revolusi untuk menjatuhkan kekuasaan thaghut diganti dengan Islam. Nah kalau mahasiswa berani begitu itu bagus, kalau tujuannya sudah ke sana mati itu tidak ada ruginya, mati fi sabilillah.
Jadi orang Islam tidak boleh tinggal di Negara yang bukan Islam, ini yang banyak tidak ngerti orang, dakwah saya yang semacam ini yang dibenci. Saya katakan kalau orang Islam rela negaranya bukan Islam karena pertimbangan ekonomi itu bisa murtad.
Semua ulama sepakat harus hijrah ke negeri Islam! Atau berusaha merubah Negara tersebut kepada Negara Islam. Sebab Islam tidak bisa diamalkan kecuali dengan sistim dan kekuasaan, maka orang Islam itu yang menguasai tidak boleh dikuasai, ini yang harus dipahami! Memang keterangan ini yang membuat thaghut itu betul-betul marah. Jadi mahasiswa itu harus paham!
Kita itu dengan orang kafir itu hanya urusan dunia yang boleh lunak, saling tolong menolong. Tapi kalau sudah urusan syari’at lakum dinukum waliyadin’. Kalau ada orang kafir setuju syari’at Islam kecuali satu syari’at saja, tidak! Harus 100%.
 Tetapi kalau urusan dunia kurang lebih itu tidak apa-apa, kita ngalah itu tidak apa-apa demi hidup rukun, tolong menolong. Nah selama ini kita ngalah masalah syari’at, akibatnya hingga hari ini. Waktu merdeka kita sudah ngalah sama Soekarno, Soekarno bawa ideologi neraka, kita memperjuangkan ideologi surga kita ngalah, kita terima ideologi nerakanya Soekarno, jadi sampai hari ini neraka!
Mestinya waktu itu tegas, tidak! Tidak ada Negara tidak apa-apa! Kalau kamu tidak mau, pergi kamu! Negara ini harus tetap Islam, begitu!
Demikianlah seruan beliau kepada mahasiswa Islam di jagad negeri ini. Seruan yang amat jelas dan tegas, bukan sekedar mengganti thaghut lama dengan thaghut baru tetapi mengganti sistem negara ini dari sistim kufur kepada sistim Islam. Wahai mahasiswa muslim dari organisasi kampus manapun kalian ketahuilah Allah Ta’ala Berfirman: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (Al-Baqarah : 147) oleh karena itu tidak ada sikap lain bagi kalian selain  “dengarkan dan laksanakan…!” (Wd/Arrahmah.Com)


Source: http://arrahmah.com/index.php/news/read/9551/dari-ustadz-abu-bakar-baasyir-kepada-mahasiswa-muslim#ixzz15go0KbUS

Jumat, 05 November 2010


Disiplin Sholat Lima Waktu

Di antara ciri menonjol muttaqin (orang-orang bertaqwa) ialah rajin menegakkan sholat sebagaimana diperintahkan Allah ta’aala dan dicontohkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ


“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS AlBaqarah ayat 2-3)


Muttaqin menyadari bahwa sholat merupakan bukti keimanan yang sangat signifikan. Dan mereka sangat menyadari betapa besar akibatnya bila seseorang dengan sengaja meninggalkan sholat wajib lima waktu tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan orang yang meninggalkan sholat sebagai terlibat dalam kekufuran bahkan kemusyrikan!

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

“Aku mendengar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sesungguhnya antara seorang lelaki dan kemusyrikan serta kekufuran ialah meninggalkan sholat.” (HR Muslim 116)

Malah dalam hadits lainnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berlepas diri dari orang yang dengan sengaja melalaikan kewajiban sholat. Sehingga beliau mengatakan bahwa tindakan tersebut akan menghilangkan jaminan Allah ta’aala dan RasulNya atas orang itu pada hari berbangkit kelak.

عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَتْرُكْ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Dari Ummu Aiman radhiyallahu ’anha bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Jangan kamu tinggalkan sholat dengan sengaja. Karena sesungguhnya barangsiapa meninggalkan sholat dengan sengaja maka sungguh lepaslah darinya perlindungan Allah ta’aala dan RasulNYa.”(HR Ahmad 26098)

Dan perlu diketahui bahwa urusan paling awal yang akan Allah ta’aala periksa atas hamba-hambaNya pada hari pengadilan ialah sholatnya. Barangsiapa yang sholatnya dikerjakan dengan baik maka beruntunglah dia, dan sebaliknya barangsiapa yang sholatnya dinilai kurang, maka kekurangannya hanya bisa ditutup bila hamba tersebut punya simpanan sholat sunnah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ فَإِنْ وُجِدَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتُقِصَ مِنْهَا شَيْءٌ قَالَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ يُكَمِّلُ لَهُ مَا ضَيَّعَ مِنْ فَرِيضَةٍ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ سَائِرُ الْأَعْمَالِ تَجْرِي عَلَى حَسَبِ ذَلِكَ

“Sesungguhnya hal pertama yang diperhitungkan dari seorang hamba Allah ta’aala pada hari kiamat ialah sholatnya. Jika didapati ia sempurna maka ia dicatat sebagai sempurna. Jika didapati terdapat kekurangan, maka dikatakan ”Coba lihat adakah ia memiliki sholat sunnah yang dapat melengkapi sholat wajibnya?” Kemudian segenap amal perbuatannya yang lain diproses sebagaimana sholatnya. (HR AnNasai)

Saudaraku, tegakkanlah sholat wajib lima waktu dengan disiplin. Sebab Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengatakan bahwa sholat wajib akan menghapuskan segenap kesalahan seorang muslim laksana daun yang berguguran dari sebatang pohon.

فَقَالَ:"إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا تَوَضَّأَ، فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ صَلَّى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ تَحَاتَّتْ خَطَايَاهُ، كَمَا تَحَاتَّ هَذَا الْوَرَقُ"، ثُمَّ تَلا هَذِهِ الآيَةَ: {أَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ} [هود: 114] .

“Seorang muslim bila berwudhu dan ia baguskan wudhunya kemudian ia sholat lima waktu, maka berguguranlah kesalahannya seperti bergugurannya daun ini.” Kemudian beliau membaca ayat sbb: “Tegakkanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (HR Thabrani 6028)

Saudaraku, usahakanlah sedapat mungkin untuk selalu menegakkan sholat wajib lima waktu berjamaah di masjid, khususnya bagi kaum pria muslim. Sebab ahli fiqih dari kalangan para sahabat, yaitu Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa orang yang sholatnya dikerjakan di rumah –bukan di masjid- berpotensi untuk menjadi sesat dari jalan Allah ta’aala.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ

Ibn Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata: “Barangsiapa ingin bertemu Allah ta’aala esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan. Maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aala telah mensyari’atkan (mengajarkan) kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam beberapa SUNANUL-HUDA (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga sholat itu termasuk dari SUNANUL-HUDA. Andaikan kamu sholat di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah berarti kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Dan bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pasti kamu tersesat.” (HR Muslim 1046).


Bahkan dalam hadits yang sama, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam masih hidup tidak ada orang yang sengaja tidak sholat berjamaah di masjid kecuali orang munafiq yang tidak diragukan kemunafiqannya. Na’udzubillahi min dzaalika..!



وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ


Dan sungguh dahulu pada masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tiada seorang tertinggal dari sholat berjama’ah kecuali orang-orang munafiq yang terang kemunafiqannya.” (HR Muslim 1046).



Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/disiplin-sholat-lima-waktu.htm