Check out the Latest Articles:

Selasa, 30 November 2010

Adakah Dalil yang Mewajibkan Kaum Muslimin Mendirikan Negara?

Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 21 September 2010
Pertanyaan : Beberapa pihak menyatakan bahwa dalam menjalankan ajaran Islam tidak perlu negara, tetapi sudah bisa dijalankan oleh individu saja. Oleh karena itu, menurut mereka, tuntutan penerapan syariah Islam oleh negara adalah suatu hal yang mengada-ada, atau politisasi agama. Hal ini karena sama sekali tidak ada dalil baik dalam Al Quran atau Hadis yang memerintahkan pendirian negara. Benarkah demikian ?
Jawaban :
Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits nabi saw digunakan dua pendekatan.  Pertama, memahami pengertian secara tersurat, secara langsung dari lafazh-lafazh al-Quran maupun as-Sunah.  Ini yang sering dikatakan sebagai pengertian secara harfiah.  Sedangkan para ulama menyebutnya sebagai manthûq.   Yakni pengertian tersurat, pengertian yang langsung dipahami dari lafazh (kata) atau dari bentuk lafazh yang terkandung dalam nash.  Kedua, pengertian secara tersirat.  Yaitu pengertian yang dipahami bukan dari lafazh atau bentuk lafazh secara langsung, tetapi dipahami melalui penafsiran secara logis dari petunjuk atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang dinyatakan dalam nash.  Kita sering menyebutnya sebagai pengertian kontekstual.  Sedang para ulama menyebutnya dengan istilah mafhûm.  Makna ini merupakan akibat (konsekuensi) logis makna yang dipahami secara langsung dari lafazh.  Makna ini menjadi kelaziman makna lafazh secara langsung.  Artinya makna ini menjadi keharusan atau tuntutan makna lafazh.  Dan para ulama menyebutnya sebagai dalâlah al-iltizâmDalâlah al-iltizâm ini dapat dibagi menjadi : dalâlah al-iqtidhâ’, dalâlah tanbîh wa al-imâ’, dalâlah isyârah dam dalâlah al-mafhûm yang terdiri dari mafhûm muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah (pengertian berkebalikan).   Namun perlu diingat bahwa pengambilan pengertian dari nash syara’ baik secara manthuq maupun secara mafhum tidak boleh keluar dari ketentuan pengambilan pengertian dalam bahasa arab.
Dengan menggunakan dua pendekatan ini maka kita akan mendapati bahwa al-Quran dan as-Sunnah serta didukung oleh Ijma’ Sahabat telah mewajibkan kita mendirikan pemerintahan atau negara.  Dalil-dalil serta penarikan argumentasi wajibnya kita mendirikan negara/pemerintahan itu adalah sebagai berikut :
Pertama, Allah Swt telah memerintahkan kita untuk menaati ulil amri.  Allah Swt berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (TQS. an-Nisâ’ [04]: 59)
Ibn Athiyah menyatakan bahawa ayat ini merupakan perintah untuk menaati Allah, Rasul-Nya dan para penguasa.  Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama: Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, Ibn Zaid dan lain-lain.[1]
Lebih jauh ayat ini juga memerintahkan kita untuk mewujudkan penguasa yang kita wajib mentaatinya.  Semua yang dinyatakan oleh Allah adalah benar.  Allah Swt juga tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mungkin kita laksanakan.  Kewajiban menaati ulil amri itu akan bisa kita laksanakan jika sosok ulil amri itu wujud (ada).  Jika tidak ada, maka tidak bisa.  Padahal, itu adalah kewajiban dan tidak mungkin Allah salah memberikan kewajiban.  Maka sebagai konsekuensi kebenaran pernyataan Allah itu, maka sesuai ketentuan dalâlah al-iltizâm, perintah menaati ulil amri juga merupakan perintah mewujudkan ulil amri sehingga kewajiban itu bisa kita laksanakan.  Maka ayat tersebut juga bermakna, realisasikan atau angkatlah ulil amri diantara kalian dan taatilah ia.  Yang dimaksud ulil amri dalam ayat ini adalah penguasa.
Kedua, Allah memerintahkan untuk menerapkan syariat Islam.  Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 49)
Kedua ayat di atas secara tersurat memerintahkan Rasul untuk menghukumi (memerintah) dengan apa yang diturunkan oleh Allah.  Kata mâ anzala Allâh, kata ini merupakan lafazh umum makna ayat tersebut adalah hukumi (perintahlah) mereka sesuai dengan apa saja yang diturunkan oleh Allah kepadamu wahai Muhammad dan jangan kamu mengikuti yang lain.  Karena yang lain itu berasal dari hawa nafsu yang hanya akan menyebabkanmu menyimpang dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Sekalipun mukhathab (orang yang diseru) secara langsung dalam ayat ini adalah Rasul, namun seruan ini juga merupakan seruan bagi kita, umat Rasul, karena kaedah syara’ mengatakan
[ خِطَابُ الرَّسُوْلِ خِطَابٌ ِلأُمَّتِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلٌ يُخَصِّصُ بِهِ ]
Seruan kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya selama tidak datang dalil yang mengkhususkan kepadanya [2]
Sementara tidak ada satu dalil pun yang mengkhususkan seruan itu hanya bagi rasul.  Oleh karenanya, seruan dalam kedua ayat di atas juga merupakan seruan kepada kita.
Kemudian terhadap perintah di atas datang berbagai qarinah (indikasi) yang mengindikasikan bahwa perintah tersebut sifatnya adalah tegas.  Indikasi-indikasi tersebut adalah firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang zalim (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 47)
Disifatinya orang yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam) sebagai orang zalim, fasik atau kafir, menunjukkan adanya celaan atasnya.  Jika perintah melakukan sesuatu, lalu orang yang tidak melakukannya mendapat celaan, maka itu menunjukkan bahwa perintah tersebut sifatnya tegas yakni wajib.  Dengan demikian perintah Allah untuk menghukumi manusia menggunakan apa-apa yang diturunkan oleh Allah yakni dengan syariat Islam adalah wajib.
Disamping itu banyak nash yang menjelaskan hukum-hukum rinci baik dalam masalah jihad, perang dan hubungan luar negeri; masalah pidana seperti hukum potong tangan bagi pencuri, qishash bagi pembunuh, jilid atau rajam bagi orang yang berzina, jilid bagi qadzaf (menuduh seseorang berzina dan tidak bisa mendatangkan empat orang saksi) dan sebagainya; hukum masalah muamalah semisal jual beli, utang piutang, pernikahan, waris, persengketaan harta, dan sebagainya.  Semua hukum itu wajib kita laksanakan.
Hukum-hukum itu tentu saja tidak bisa dilaksanakan secara individual.   Akan tetapi sudah menjadi pengetahuan bersama dan tidak ada satu orangpun yang memungkirinya, bahwa penerapan hukum-hukum itu hanya melalui institusi negara dan dilaksanakan oleh penguasa.  Jadi pelaksanaan berbagai kewajiban itu yaitu kewajiban menghukumi segala sesuatu dengan syariat Allah itu hanya akan sempur bisa kita laksanakan jika ada negara dan penguasa yang mengadopsi dan menerapkannya.  Berdasarkan kaedah
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib [3]
Kewajiban menghukumi segala hal dengan syariat Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya negara dan penguasa yang bertindak sebagai pelaksana (munaffidz), maka mewujudkan negara dan penguasa yang menerapkan syariat Islam itu menjadi wajib.
Dari sejumlah nash di atas menjadi jelas bahwa kita diperintahkan untuk mendirikan negara dan mengangkat penguasa.  Hal itu merupakan kewajiban,  Juga jelas bahwa negara dan penguasa yang wajib kita wujudkan itu bukan sembarang negara dan sembarang penguasa.  Akan tetapi negara yang wajib kita wujudkan itu adalah negara yang menerapkan hukum-hukum Allah.  Karena pendirian negara itu adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban menghukumi segala sesuai dengan hukum-hukum Allah.  Sedangkan penguasa yang wajib kita angkat melihat dari nash-nash diatas haruslah berasal dari kalangan kita yakni kaum muslim karena dalam QS. an-Nisa ayat 59 itu disebutkan minkum (dari kalian), sementara kalian yang dimaksud adalah kaum mukmin.  Dan sifat yang kedua adalah bahwa penguasa itu kita angkat untuk menerapkan hukum-hukum Islam.  Karena ia kita angkat dalam rangka melaksanakan kewajiban menghukumi sesuai hukum Allah.  Semua ini menegaskan kepada kita bahwa metode satu-satunya untuk menerapkan Islam secara total adalah negara (daulah). (www.konsultasi.wordpress.com)

Minggu, 28 November 2010

AL-Mu'tasim

Dahulu, di masa keemasan Islam, ada seorang teladan abadi sepanjang masa. Dia adalah khalifah al-Mu’tasim, khalifah Bani Abbasiyah (833-842 Masehi). Dialah yang menyambut seruan seorang muslimah yang dilecehkan tentara Romawi dengan mengirimkan pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah dan melibas seluruh tentara kafir Romawi di sana hingga bebaslah sang muslimah tadi dari tawanan Romawi. Kini, ketika ribuan muslimah dan muslim ditawan tentara-tentara kafir, dimanakah Al-Mu’tasim hari ini?
Teladan Heroik Pejuang Muslim
Kisah heroik Al-Mu’tashim dicatat dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 223 Hijriyyah, dalam judul Penaklukan kota Ammuriah.
Ketika itu, al-Mu’tasim, khalifah di masa Bani Abbasiyah, sedang memegas gelas untuk minum ketika didengarnya seorang muslimah dilecehkan oleh tentara Romawi. Khalifah pun langsung berseru kepada panglima perangnya agar bersiap menuju Ammuriah, tempat dimana muslimah tersebut berteriak meminta tolong.
Konon, muslimah itu keturunan Bani Hashim dan sedang berbelanja di sebuah pasar di kawasan negeri di bawah kekuasaan Romawi, di utara benua Asia, yakni tepatnya di kota Ammuriah, kawasan Turki hari ini. Di saat sedang berjalan itulah, sang muslimah diganggu oleh seorang lelaki Romawi dengan menyentuh ujung jilbabnya hingga dia secara spontan berteriak : “Wa Mu’tashamah….!!!” Yang juga berarti “Dimana kau Mu’tasim…Tolonglah Aku”
Teriakan muslimah tersebut akhirnya sampai ke telinga Khalifah al-Mu’tasim. Puluhan ribu tentara pun digelar mulai dari gerbang ibukota di Baghdad hingga ujungnya mencapai kota Ammuriah. Pembelaan kepada muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh khalifah sebagai pembebasan Ammuriah dari jajahan Romawi.
Catatan sejarah menyatakan bahwa ribuan tentara Muslim bergerak di bulan April, 833 Masehi dari Baghdad menuju Ammuriah. Kota Ammuriah dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu’tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi.
Hanya seorang Muslimah yang dilecehkan kafir Romawi dan berteriak ‘Wahai Mu’tasim” maka sang khalifah tersentuh hatinya dan terbakar ghiroh Islamnya sehingga dilancarkanlah serangan penaklukan ke Ammuriah hingga sang Muslimah akhirnya bisa dibebaskan. Allahu Akbar!
Sejak Dahulu Kaum Muslimin Wajib Dibela!
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, dikisahkan ada seorang tukang emas Yahudi Bani Qainuqa menganiaya kehormatan seorang Muslimah dengan mengikat pinggir bajunya sehingga menyebabkan tubuhnya tersingkap. Saat itu, seorang pria Muslim kebetulan berada di sana dan membunuh orang Yahudi itu. Kemudian orang-orang Yahudi membalas dengan membunuh orang muslim itu. Keluarga pria itu memanggil kaum Muslimin untuk membantu dan Nabi SAW., mengirimkan pasukan melawan mereka dan setelah 15 hari pengepungan seluruh suku Bani Qainuqa diusir dari Madinah. Subhanallah!
Di masa Khalifah Umar bin Abdul-Aziz, beliau pernah mengirim surat kepada para tahanan perang Muslim di Konstantinopel. Beliau mengatakan kepada mereka:
“Kamu menganggap dirimu sebagai tahanan perang. Padahal kamu bukan tahanan perang. Kamu terkunci di jalan Allah. Aku ingin kamu tahu bahwa setiap kali aku memberikan sesuatu kepada kaum Muslim, aku memberikan lebih banyak untuk keluarga kamu dan aku mengirimkan sekitar 5 dinar untuk setiap salah satu dari kamu dan seandainya bukan karena aku takut bahwa diktator Romawi akan mengambilnya dari kalian, aku akan mengirimkan lebih. Aku juga telah mengirim banyak untuk menjamin pembebasan setiap salah satu dari kalian tanpa memikirkan berapa biayanya. Jadi bersukacitalah! Assalamu Alaikum. “

Dimanakah Al-Mu’tasim Hari Ini?

Kini, berapa banyak Muslimah yang dilecehkan kehormatannya oleh kuffar ? Berapa banyak Muslimah yang berteriak meminta tolong dari kedzoliman yang dideritanya? Berapa banyak kaum Muslimin yang ditawan pemerintahan kafir maupun pemerintahan murtad ? Bukankah sudah terdengar teriakan mereka dari penjara di Guantanamo (Cuba), Abu Gharib (Irak), Bagram (Afghanistan), Gaza (Palestina) Nusa Kambangan (Indonesia), dan penjara-penjara Amerika dan Inggris di seluruh dunia. Dimanakah Al-Mu’tasim hari ini?
Bukankah saudari Muslimah kita Afia Siddiqui sudah berteriak meminta pertolongan dari penjara pemerintahan Pakistan? Juga saudara Muslimah kita, Putri Munawaroh berteriak meminta pertolongan dari kedzoliman penjara Mako Brimob?
Bukankah Rasulullah SAW., bersabda,
Berikanlah makan pada seseorang yang merasa lapar, kunjungilah seseorang yang sakit dan bebaskanlah seseorang yang ditawan.”
Beliau SAW., juga bersabda,
Adalah sebuah kewajiban bagi Muslim dari harta mereka untuk membebaskan orang-orang yang berada dalam tahanan dan membayar  tebusan.”
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
Jika mereka menahan seorang Muslim, adalah sebuah kewajiban kita untuk tetap memerangi mereka sampai mereka membebaskan mereka atau mereka di musnahkan,”
dan dia juga berkata,
Membebaskan Muslim dari tahanan adalah salah satu kewajiban yang besar dan membelanjakan kekayaan untuk membebaskan mereka adalah salah satu bentuk mendekatkan diri kepada Allah yang paling baik.”
Sahabat Umar Ibnu Khattab RA berkata,
Bagiku membebaskan seorang Muslim yang berada ditangan Musyirikin lebih aku sukai daripada seluruh Jazirah Arab.” (Shahih Shahabi Jilid. 3).
Sejarah Islam telah menorehkan dengan tinta emas kisah-kisah heroik dan tauladan abadi dari mereka-mereka yang membela kehormatan kaum Muslimin yang ditawan musuhnya. Khalifah al-Mu’tasim adalah salah satu contoh yang paling fenomenal dalam menanggapi panggilan seorang Muslimah yang didzolimi kaum kafir. Kini, kaum Muslimin di pelbagai penjuru dunia banyak dilecehkan dan ditawan di banyak penjara kaum kuffar. Lalu, dimanakah al-Mutasim hari ini?
Wallahu’alam bis showab!

bangkitnya KHILAFAH kembali merupakan suatu yang urgen bagi kita, tidak ada jalan lain !!!!!!!
hanya khilafah lah yang mampu memporak porandakan negri kaum kafir yang jelas-jelas memerangi umat islam...TAKBIR

TIDAK ADA KEMULYAAN TANPA ISLAM
TIDAK ADA ISLAM TANPA SYARIAH
TIDAK ADA SYARIAH TANPA ADANYA KHILAFAH



Ya allah saksikanlah,,,,,,,,,,,,,
(M Fachry/arrahmah.com)
Raih amal shalih, sebarkan informasi ini…
Source: http://arrahmah.com/index.php/blog/read/9003/dimanakah-al-mutasim-hari-ini#ixzz0S1sIgMRO

Jumat, 26 November 2010


Pemimpin Pembawa Rahmat


“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, lalu Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri. Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.” (Al-An’am: 6)
Sudah sekian kali Allah membinasakan bangsa-bangsa yang mendustai agama. Sebelumnya, mereka dikokohkan Allah kedudukannya dengan harta, keturunan, dan kesejahteraan. Allah juga menurunkan air hujan yang deras. Allah jadikan sungai-sungai mengalir sehingga menumbuhkan tanaman dan kebun buah-buahan. Mereka benar-benar merasakan kesenangan duniawi. Namun mereka tidak pandai bersyukur. Mereka tidak dapat mengendalikan nafsu. Justru mengikuti syahwat. Setiap datang Rasul yang diutus, mereka dustakan. Karena itu, Allah membinasakan mereka lantaran dosa-dosa dan kemaksiatan itu. Lalu Allah mengganti mereka dengan generasi yang lain. Ini adalah sunnatullah bagi orang-orang yang mendustai agama.

Di antara bangsa yang telah dianugerahkan Allah kekuatan dan kesejahteraan hidup adalah Fir’aun. Fir’aun memiliki struktur kenegaraan dan kekuatan militer yang hebat. Tapi, karena berpaling dari ajakan Nabi Musa, Allah tidak segan-segan membinasakan mereka dengan menenggelamkan di lautan. Begitu juga Kaum ‘Ad. Penduduk kota Iram ini diberi Allah kekuatan konstruksi bangunan nan kokoh. Lalu Allah binasakan mereka dengan mengirimkan angin puyuh yang mematikan karena pembangkangan mereka terhadap aturan Allah.

Demikian pula Kaum Tsamud. Mereka diberikan Allah kemampuan yang fisik prima. Mereka mampu memecahkan bebatuan di lembah-lembah, kemudian Allah membumihanguskan mereka dengan mengirimkan petir halilintar yang menyambar mereka dalam keadaan sadar. Juga kaum Nuh yang dengan sangat mudah ditenggelamkan Allah lantaran dosa-dosa mereka. Allah Maha Kuat Maha Perkasa tiada tandingan bagiNya. Apapun kekuatan dan kemampuan yang dimiliki makhlukNya, jika Allah berkehendak untuk menghancurkannya, niscaya dalam waktu sekejap saja dapat dilakukanNya.

Imam Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya, “Apakah orang-orang kafir itu tidak sadar bahwa Allah telah berkali-berkali membinasakan bangsa-bangsa para pendusta rasul. Allah pun menganugrahkan mereka kesejahteraan, kebebasan di bumi dan fasilitas hidup lainnya, tetapi disayangkan nikmat-nikmat tersebut membuat mereka sombong tidak menerima kebenaran. Bahkan ketika Allah menurunkan air hujan dan sungai-sungai mengalir di perkebunan dan pertanian mereka, sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan nikmat-nikmat tersebut. Tetapi mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat itu, mereka lupa bahkan melakukan perbuatan dosa dan maksiat.” (Al-Maraghi 7:75-76).

Selanjutnya Al-Maraghi menjelaskan 2 macam dosa, ada dosa berupa pendustaan terhadap ajaran rasul dan dosa berupa kufur nikmat dengan melakukan kezaliman-kezaliman dan perbuatan destruktif.

Dari penjelasan di atas, bencana alam yang menimpa suatu bangsa merupakan teguran Allah swt. kepada bangsa yang melakukan salah satu dari dua kategori dosa sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Maraghi.

Secara spesifik Rasulullah saw. pun menerangkan keterkaitan antara bencana dengan moralitas dalam sebuah haditsnya yang artinya, “Wahai sahabat Muhajirin, lima perkara ini apabila kalian diuji dengannya maka kalian akan menerima cobaan dan berbagai siksaan. Aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak mengalaminya: Apabila masyarakat itu banyak melaksanakan perbuatan keji (zina), maka penyakit kolera dan penyakit yang tidak pernah menimpa umat terdahulu akan mewabah. Apabila masyarakat tidak mau mengeluarkan zakat, maka mereka telah menahan tetesan air dari langit andai saja bukan untuk memberi minum binatang, mereka tidak akan diberi air hujan. Apabila masyarakat itu melanggar janji Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan membuat musuh-musuh menguasai mereka, kemudian musuh tersebut akan merampas sebagian hak milik mereka. Apabila pemimpin masyarakat itu tidak memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah dan ‘memilih-milih’ apa yang diturunkan Allah, maka Allah akan mengirimkan malapetaka kepada mereka.” (Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya, demikian Imam Adz-Dzhabi menyepakatinya).

Hadits tersebut juga sebagai penjelasan dari firman Allah swt., “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)

Al-Fasad (kerusakan) yang muncul di suatu masyarakat, baik di darat maupun di lautan semata-mata karena ulah dan laku manusia yang destruktif. Allah sengaja ingin menegur mereka, dengan harapan mereka dapat meninggalkan perbuatan mereka yang mengakibatkan kerusakan, sehingga mereka memperbaiki diri kemudian istiqomah dalam ketaatan dan ketakwaan. (Taysir 6/135).

Dengan kata lain agar dapat keluar dari krisis yang melanda suatu bangsa adalah dengan kembali ke jalan yang benar. Lebih tegas dan konkret lagi Allah menjelaskan maksud jalan yang benar itu adalah ad-din al-qayyim, yakni agama yang lurus (baca: Ar-Rum 43) dengan mengarahkan wajah dan wijhah (orientasi hidup) kita kepada ajaran Allah yang benar, yaitu Al-Islam. Karena Allah Sang Pencipta manusia, Allah pula Sang Konseptor Al-Islam, Allah jua Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia, maka Dia-lah Sang Maha Mengetahui kunci dan rahasia kebahagiaan hakiki.

Bangsa kita kini tengah menghadapi berbagai permasalahan serius akibat krisis yang berkepanjangan dan tidak menentu. Akhir-akhir ini di banyak wilayah Indonesia dilanda banjir, tidak sedikit masyarakat yang terjangkit busung lapar atau kurang gizi. Negara yang dahulunya dikenal dengan kesuburan tanah dan keindahan panoramanya, kini seakan semua kebaikan itu sirna dan pupus.

Dalam keyakinan setiap muslim, bahwa gejala alam tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ada yang mengatur dan memerankannya. Bangunan langit yang begitu megahnya, hamparan bumi yang demikian menakjubkan, hidup berpasangan dari makhluk-makhluk yang unik, semua itu tidak terjadi “sim sala bim”, tetapi Allah swt. lah yang menciptakan, mengatur dan memerankan keajaiban-keajaiban alam itu.

Karenanya, upaya hujan buatan dalam penanggulangan kekeringan, menyantuni korban bencana alam, peduli kepada kaum papa dan nestapa hanyalah sebagai solusi praktis yang bersifat sementara dan sesaat atau bersifat insidentil.

Sebenarnya solusi mengakar dan jalan keluar hakiki adalah kembali kepada Allah yaitu AL-Quran,Hadits, ijma sahabat dan Qiyas saat kita menghadapi permasalahan hidup dengan berbagai kendala dan rintangannya. Kembali kepada Allah artinya meninggalkan segala perbuatan maksiat, termasuk tatanan hukum yang bukan berasal dari allah dan segala bentuk dosa, memperbaiki kesalahan-kesalahan pribadi dan konstitusi, baik pada tataran masyarakat maupun tataran pemimpin dengan hukum yang berasal dari ALLAH SWT.

Karenanya menjadi urgen bagi kita untuk kembali kepada jalan allah memiliki pemimpin –di semua level– yang tangguh, baik lahir batin, sehat mental spiritual dan fisikal. yaitu dengan adanya khilafah yang menerapkan syariat islam secara kaffah.
TIDAK ADA KEMULYAAN TANPA ISLAM, TIDAK ADA ISLAM TANPA SYARIAT, DAN TIDAK ADA SYARIAT TANPA ADANYA KHILAFAH,,,TAKBIR  !!!!!!!!!!1

Selasa, 23 November 2010

APA PUN KEADAANNYA, SUKURILAH NIKMAT YANG DIBERIKAN ALLAH SWT...........
Dimanapun kalian berada, untuk sejenak mari kita merenung dan meresapi kehidupan yang telah kita dapatkan saat ini. Sudahkah kita bersyukur atas segala yang telah kita miliki dan nikmati hari ini?
Mari kita perhatikan dengan seksama beberapa keadaan dibawah ini, lihat dan rasakanlah dengan hatimu . . . . .

Jika kita memiliki Gedung yang tinggi, Apartement mewah,
coba lihatlah mereka.





Jikalau kita kira pekerjaan kita memuakan,
bagaimana dengan dia?



Jikalau kita kira gaji kita rendah, bagaimana dengan dia?





Seorang sahabat adalah siapapun!





Jikalau kita kira belajar adalah membosankan,
bagaimana dengan dia ?





Ketika kita merasa putus asa,
mari sejenak kita berfikir tentang pria ini ?





Masihkah kita bermalas-malasan?



 

Jika kita sering "ngedumel" tentang sistem transportasi yang ada saat ini. Bagaimana dengan mereka?





Dahulu di saat kita kecil dimanja dan di sayang,
Bagaimana dengan dia? Nampak manjakah dia?





Kita sering mengeluh tentang makanan yang sedang kita santap,
bagaimana dengan dia?





Masihkah kita berfikir untuk membentak dan melawan ibu kita?





Sudahlah kita mengasuhnya dengan baik, toh pada akhirnya kelak kita akan seperti dia, tua, renta dan pikun?






















Sahabat . . .
bersyukurlah dengan apa yang kita dapat saat ini . . . .
dan smoga renungan yang sedikit ini dapat membawa kita semua kepada
Pemberi Nikmat yang sesungguh'Nya !
yang senantiasa kita naifkan, lupakan dan abaikan . . .


Amin . . . .

Kamis, 18 November 2010

Jakarta (Arrahmah.Com) - Mungkin kebanyakan orang mengenal Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sebagai seorang ulama sepuh yang kharismatik. Kiprah dakwah beliau bukan lagi di tataran lokal negeri ini. Bermula dari sikapnya yang tanpa tedeng aling-aling dalam menyampaikan kebenaran kepada rezim yang berkuasa membuatnya keluar masuk hotel prodeo hingga akhirnya beliau hijrah ke Malaysia.
Hijrahnya ke Malaysia tidak membuat alumnus Universitas Al-Irysad ini diam dan tak berbuat apa pun. Seperti yang pernah dikatakan beliau, “hijrah itu bukan semata-mata melarikan diri melainkan menyusun strategi”. Benar saja, Allah Justru membuka peluang yang luas di luar negeri untuk berdakwah, beliau pernah mengisi pengajian dari mulai di Malaysia, Singapura bahkan  di Australia.
Siapa sangka Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dengan pengalamannya yang malang melintang di dunia dakwah ternyata pada awalnya beliau merupakan seorang aktivis Pelajar dan Mahasiswa. Menurut pengakuan beliau ia pernah menjadi anggota Pandu Islam (mungkin sekarang Pramuka), kemudian ketika di Ponpes Gontor beliau masuk PII (Pelajar Islam Indonesia). Lulus dari Gontor beliau melanjutkan kuliah di Universitas Al-Irsyad Solo di sanalah beliau menjadi aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan sempat memegang jabatan strategis yakni pimpinan Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI).
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sang mantan aktivis kampus ini sekarang kembali di tahan sejak 9 Agustus 2010. Dengan tragis usai safari dakwah mobilnya digiring ke dalam Polres Banjar dan ditangkap Densus 88 laknatullah. Meski beliau sekarang sedang mendapatkan fitnah dari rezim thaghut  negeri ini tak henti-hentinya beliau berdakwah, menyampaikan taushiyah atau bahkan seruan yang beliau tujukan kepada berbagai kalangan. Bahkan beberapa kali saat dikunjungi beliau terus menyebut-nyebut peran mahasiswa. Inilah seruan beliau kepada mahasiswa Islam yang diambil dari Sel tahanan Bareskrim Mabes Polri.
Saya harapkan mahasiswa Islam alangkah baiknya kalau mahasiswa Islam yang mempelopori tegaknya Negara Islam, entek-entekan (Bahasa Jawa), habis-habisan tidak apa-apa!

Mahasiswa mengadakan revolusi seperti zaman Soeharto, tetapi tujuannya tegas, berlakunya hukum Islam 100 % itu tujuannya, karena itu tuntutan ‘aqidah, itu hak-hak kita. Maka sekarang ini status Islam dan umat Islam itu hidup di masa penjajahan, bukan penjajahan ekonomi tetapi penjajahan ‘aqidah, kita tidak boleh melaksanakan hukum Islam 100%. Jadi kita ini hidup di masa penjajahan, tidak ada bedanya dengan zaman Belanda, kalau dulu yang menjajah Belanda sekarang yang menjajah kaum Nasionalis thaghut-thaghut itu.
Harus berani mahasiswa itu! Jangan sekedar mengadakan revolusi dengan mengganti thaghut Soeharto (mengganti thaghut lama dengan thaghut baru, pen.) tetapi revolusi kembali kepada tegaknya Islam, itu artinya jihad juga.
Para ulama mengartikan jihad itu dengan perang atau dengan revolusi untuk menjatuhkan kekuasaan thaghut diganti dengan Islam. Nah kalau mahasiswa berani begitu itu bagus, kalau tujuannya sudah ke sana mati itu tidak ada ruginya, mati fi sabilillah.
Jadi orang Islam tidak boleh tinggal di Negara yang bukan Islam, ini yang banyak tidak ngerti orang, dakwah saya yang semacam ini yang dibenci. Saya katakan kalau orang Islam rela negaranya bukan Islam karena pertimbangan ekonomi itu bisa murtad.
Semua ulama sepakat harus hijrah ke negeri Islam! Atau berusaha merubah Negara tersebut kepada Negara Islam. Sebab Islam tidak bisa diamalkan kecuali dengan sistim dan kekuasaan, maka orang Islam itu yang menguasai tidak boleh dikuasai, ini yang harus dipahami! Memang keterangan ini yang membuat thaghut itu betul-betul marah. Jadi mahasiswa itu harus paham!
Kita itu dengan orang kafir itu hanya urusan dunia yang boleh lunak, saling tolong menolong. Tapi kalau sudah urusan syari’at lakum dinukum waliyadin’. Kalau ada orang kafir setuju syari’at Islam kecuali satu syari’at saja, tidak! Harus 100%.
 Tetapi kalau urusan dunia kurang lebih itu tidak apa-apa, kita ngalah itu tidak apa-apa demi hidup rukun, tolong menolong. Nah selama ini kita ngalah masalah syari’at, akibatnya hingga hari ini. Waktu merdeka kita sudah ngalah sama Soekarno, Soekarno bawa ideologi neraka, kita memperjuangkan ideologi surga kita ngalah, kita terima ideologi nerakanya Soekarno, jadi sampai hari ini neraka!
Mestinya waktu itu tegas, tidak! Tidak ada Negara tidak apa-apa! Kalau kamu tidak mau, pergi kamu! Negara ini harus tetap Islam, begitu!
Demikianlah seruan beliau kepada mahasiswa Islam di jagad negeri ini. Seruan yang amat jelas dan tegas, bukan sekedar mengganti thaghut lama dengan thaghut baru tetapi mengganti sistem negara ini dari sistim kufur kepada sistim Islam. Wahai mahasiswa muslim dari organisasi kampus manapun kalian ketahuilah Allah Ta’ala Berfirman: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (Al-Baqarah : 147) oleh karena itu tidak ada sikap lain bagi kalian selain  “dengarkan dan laksanakan…!” (Wd/Arrahmah.Com)


Source: http://arrahmah.com/index.php/news/read/9551/dari-ustadz-abu-bakar-baasyir-kepada-mahasiswa-muslim#ixzz15go0KbUS

Jumat, 05 November 2010


Disiplin Sholat Lima Waktu

Di antara ciri menonjol muttaqin (orang-orang bertaqwa) ialah rajin menegakkan sholat sebagaimana diperintahkan Allah ta’aala dan dicontohkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ


“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS AlBaqarah ayat 2-3)


Muttaqin menyadari bahwa sholat merupakan bukti keimanan yang sangat signifikan. Dan mereka sangat menyadari betapa besar akibatnya bila seseorang dengan sengaja meninggalkan sholat wajib lima waktu tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan orang yang meninggalkan sholat sebagai terlibat dalam kekufuran bahkan kemusyrikan!

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

“Aku mendengar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sesungguhnya antara seorang lelaki dan kemusyrikan serta kekufuran ialah meninggalkan sholat.” (HR Muslim 116)

Malah dalam hadits lainnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berlepas diri dari orang yang dengan sengaja melalaikan kewajiban sholat. Sehingga beliau mengatakan bahwa tindakan tersebut akan menghilangkan jaminan Allah ta’aala dan RasulNya atas orang itu pada hari berbangkit kelak.

عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَتْرُكْ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Dari Ummu Aiman radhiyallahu ’anha bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Jangan kamu tinggalkan sholat dengan sengaja. Karena sesungguhnya barangsiapa meninggalkan sholat dengan sengaja maka sungguh lepaslah darinya perlindungan Allah ta’aala dan RasulNYa.”(HR Ahmad 26098)

Dan perlu diketahui bahwa urusan paling awal yang akan Allah ta’aala periksa atas hamba-hambaNya pada hari pengadilan ialah sholatnya. Barangsiapa yang sholatnya dikerjakan dengan baik maka beruntunglah dia, dan sebaliknya barangsiapa yang sholatnya dinilai kurang, maka kekurangannya hanya bisa ditutup bila hamba tersebut punya simpanan sholat sunnah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ فَإِنْ وُجِدَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتُقِصَ مِنْهَا شَيْءٌ قَالَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ يُكَمِّلُ لَهُ مَا ضَيَّعَ مِنْ فَرِيضَةٍ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ سَائِرُ الْأَعْمَالِ تَجْرِي عَلَى حَسَبِ ذَلِكَ

“Sesungguhnya hal pertama yang diperhitungkan dari seorang hamba Allah ta’aala pada hari kiamat ialah sholatnya. Jika didapati ia sempurna maka ia dicatat sebagai sempurna. Jika didapati terdapat kekurangan, maka dikatakan ”Coba lihat adakah ia memiliki sholat sunnah yang dapat melengkapi sholat wajibnya?” Kemudian segenap amal perbuatannya yang lain diproses sebagaimana sholatnya. (HR AnNasai)

Saudaraku, tegakkanlah sholat wajib lima waktu dengan disiplin. Sebab Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengatakan bahwa sholat wajib akan menghapuskan segenap kesalahan seorang muslim laksana daun yang berguguran dari sebatang pohon.

فَقَالَ:"إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا تَوَضَّأَ، فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ صَلَّى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ تَحَاتَّتْ خَطَايَاهُ، كَمَا تَحَاتَّ هَذَا الْوَرَقُ"، ثُمَّ تَلا هَذِهِ الآيَةَ: {أَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ} [هود: 114] .

“Seorang muslim bila berwudhu dan ia baguskan wudhunya kemudian ia sholat lima waktu, maka berguguranlah kesalahannya seperti bergugurannya daun ini.” Kemudian beliau membaca ayat sbb: “Tegakkanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (HR Thabrani 6028)

Saudaraku, usahakanlah sedapat mungkin untuk selalu menegakkan sholat wajib lima waktu berjamaah di masjid, khususnya bagi kaum pria muslim. Sebab ahli fiqih dari kalangan para sahabat, yaitu Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa orang yang sholatnya dikerjakan di rumah –bukan di masjid- berpotensi untuk menjadi sesat dari jalan Allah ta’aala.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ

Ibn Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata: “Barangsiapa ingin bertemu Allah ta’aala esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan. Maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aala telah mensyari’atkan (mengajarkan) kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam beberapa SUNANUL-HUDA (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga sholat itu termasuk dari SUNANUL-HUDA. Andaikan kamu sholat di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah berarti kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Dan bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pasti kamu tersesat.” (HR Muslim 1046).


Bahkan dalam hadits yang sama, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam masih hidup tidak ada orang yang sengaja tidak sholat berjamaah di masjid kecuali orang munafiq yang tidak diragukan kemunafiqannya. Na’udzubillahi min dzaalika..!



وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ


Dan sungguh dahulu pada masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tiada seorang tertinggal dari sholat berjama’ah kecuali orang-orang munafiq yang terang kemunafiqannya.” (HR Muslim 1046).



Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/disiplin-sholat-lima-waktu.htm