Check out the Latest Articles:

Minggu, 26 Desember 2010

Komentar Penjelasan Ustadz Sigit Tentang Bentuk Busana Muslimah yang Benar

Senin, 27/12/2010 05:29 WIB | email | print | share
Yang saya hormati dan muliakan Para Redaksi eramuslim, dengan kerendahan hati ijinkan saya untuk menanggapi jawaban atas pertanyaan pada salah satu di kolom rubrik Ustadz-Menjwab yakni pertanyaan dari Ukhti Yulia yakni “Bentuk Busana Muslimah yang benar” dan pertanyaan tersebut telah di jawab oleh Ustadz Sigit Pranowo Lc.
Dalam penjelasannya, Ustadz Sigit Menjelaskan bahwa pakaian atas-bawah (baju dan rok lebar) selama pakaian itu memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syariat.
Diantara syarat-syarat itu adalah :
  1. Hendaknya pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dari kaum lelaki yang bukan mahramnya. Dan janganlah dia memperlihatkan anggota-anggota tubuhnya kepada mahramnya kecuali bagian-bagian yang dibolehkan oleh syariat, seperti wajah, kedua telpak tangan dan kedua pergelangan kakinya.
  2. Hendaknya pakaian itu tidak tipis (transparan) sehingga warna kulitnya dapat terlihat oleh orang dibelakangnya.
  3. Pakaian itu tidak sempit sehingga menampakkan bentuk-bentuk anggota tubuhnya.
  4. Pakaian itu tidak menyerupai pakaian kaum lelaki.
  5. Tidak terdapat berbagai hiasan di pakaian itu yang dapat mengundang perhatian orang-orang ketika dirinya keluar dari rumah. (Markaz al Fatwa No. 0428).
Kapasitas saya bukanlah membantah Penjelasan dari al-Ustadz Sigit Pranowo, namun hanya dalam kapasitas ingin turut serta dalam menjelaskan seputar pakain busana seorang muslimah baik ketika berada di dalam kehidupan khusus, maupun di dalam kehidupan umum. Ini karena, saya melihat pertanyaan ukhti Yulia adalah mempertanyakan seputar busana muslimah berupa gamis, di mana mungkin saja telah terjadi interaksi dia dengan pihak lain seputar busana muslimah yang syar’iy.
Masyarakat kita masih sering sekali salah salam memahami apa itu jilbab dan apa itu kerudung. Saya dulu pernah berdiskusi dengan salah satu teman, ketika saya tanya apa itu jilbab dan apa itu kerudung, maka dia spontan menjawab bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala yang berukuran lebar dan memanjang ke bawah sehingga jika di tutupkan ke kepala maka bagian bawahnya bisa sampai ke bagian pinggang seorang wanita. Mungkin ini yang saya sering dengar dengan istilah jilbaber. Dan kemudian dia juga menjelaskan bahwa yang di maksud dengan kerudung itu adalah kain penutup kepala yang biasanya hanya di tutupkan ke kepala tidak di balutkan, jadi seperti seolah kebaya penutup kepala yang rambutnya masih kelihatan.
Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas perempuan muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Al-Qur`an yang berbeda. Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab [33] : 59).
Karena al qur’an diturunkan dengan bahasa arab, maka kita harus mengembalikan tafsri surat di atas kedalam bahasa arab pula, bukan dengan bahasa kita. Karena untuk memahami Islam maka harus tahu bahasa arab, itulah kenapa bahasa arab hukumnya fardhu ’ain bagi orang Islam.
Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa’), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami’a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), Dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Ini juga sejalan dengan pendapat syaikh taqiyudin an nabhani dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i fil Islam, hal. 45-46). Beliau mengatakan bahwa jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) “mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh.

Bagaimana dengan kerudung atau khimar?
Kewajiban memakai khimar atau kerudung ini terdapat pada surah an Nur ayat 31 yang berbunyi,
Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…'
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-ra`su). (Tafsir Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul ‘Arabi, Ahkamul Qur`an, 6/65 ). Artinya, kerudung bukanlah sebatas kain yang dibalutkan ke kepala saja, namun sebuah kain yang dijadikan penutup kepala hingga menutupi dada mereka.
Kesimpulan dari dua hal di atas adalah jilbab bukanlah kerudung melainkan sebuah jubah yang mungkin bisa kita sebut sebagai sebuah gamis yang biasanya menutupi tubuh wanita muslimah.
Nah, jika telah jelas perkara di atas, maka mari kita kaji persolaan menutup aurat dan persoalan memakai busana muslimah. Kedua hal ini adalah dua hal yang berbeda, dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukan, karena jika dicampuradukan maka bisa menimbulkan persepsi yang salah terhadapnya.
Perlu difahami bahwa dalam syariah Islam dalam masalah menutup ’aurat atau satru al-’aurat, syariah tidak menjelaskan atau mensyaratkan pakaian tertentu atau bahan tertentu yang harus di pakai oleh seorang muslimah untuk menutupi ’auratnya. Di dalam syariat Islam cuma ada pensyaratan bahwa pakaian tersebut harus menutup aurat dan menutupi kulitnya. Jadi, seorang wanita boleh mengunakan pakaian jenis dan model tipe apapun untuk menutupi auratnya.
Yang manakah aurat wanita yang boleh tampak itu?
Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mungkin timbul pertanyaan, lha… kok dari penjelasan di atas wanita boleh memakai jenis pakain dan model apapun untuk menutupi auratnya?
Jawabannya adalah, karena kita sedang berbicara pada konteks kehidupan khusus seorang muslimah. Di dalam kehidupan khusus, maka seorang muslimah tidak wajib memakai jilbab, bukan berarti ia lantas menampakan auratnya, namun ia tetap menutupi auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram dia dan tidak memakai jilbab (gamis).
Sebagaimana ketika Rasulullah berada di rumah Abu bakar dan melihat putri Abu bakar yang tidak menutupi auratnya lantas rasulullah berkata, “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Lantas, kapankah jilbab itu harus di pakai oleh seorang muslimah?
Kita telah membahas seputar wanita yang telah menutupi auratnya tadi. Nah, walaupun ia telah menutupi auratnya dengan baik yakni warna kulitnya sudah tidak tampak dan semua anggota badannya telah tertutupi kecuali muka dan telapak tangan, maka bukan berarti ia boleh keluar rumah. Kenapa? Karena syariat Islam telah mengatur tentang memakai busana muslimah ketika keluar rumah dan di dalam rumah. Itulah sejak awal saya katakan, jangan mencampurkan kewajiban menutupi aurat dan kewajiban memakai pakaian muslimah.
Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat. Celana panjang atau baju potongan itu hanya boleh ia kenakan ketika berada di dalam rumah, dan ini termasuk ke dalam pakain mihnah atau pakaian keseharian wanita di dalam rumah. Dan ketika ada laki-laki non mahram yang ada di rumahnya, ia tetap boleh memakai pakain tersebut namun di tambah dengan pakain lain yang menutupi aurat dia yakni agar semua auratnya tertutupi kecuali yang biasa tampak yakni wajah dan telapak tangannya, dan tidak wajib baginya untuk memakai jilbab (baju gamis) didalam rumahnya.
Ketika berada di kehidupan umum, seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Adapun dalil-dalil yang menjelaskan seputar memakai jilbab ketika keluar rumah dan berada di area umum adalah sebagai berikut :
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82)
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
Wallahu A’lam
http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/komentar-penjelasan-ustadz-sigit-tentang-bentuk-busana-muslimah-yang-benar.htm

Minggu, 19 Desember 2010

[Keren]Industri dan Teknologi Militer Negara Khilafah


Masa awal pemerintahan Islam, jihad sebagai metode mendasar penyebaran dakwah Islam telah menjadi bagian penting dari upaya membangun kekuatan Daulah Islam. Jihad adalah perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah. Oleh sebab itu diperlukan persiapan baik logistik, formasi perang, strategi, komandan dan para pasukan serta persenjataan. Persenjataan mengharuskan adanya industri.
Persenjataan mengharuskan adanya industri.

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan unuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yg tidak kalian ketahui sedangkan Allah mengetahuinya.” [Q.S. Al-Anfal: 60]

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk membangun kekuatan agar musuh yang dihadapi merasa gentar. Sedangkan musuh tidak akan gentar kecuali dengan adanya persiapan, dan persiapan itu mengharuskan adanya industri persenjataan. Ayat di atas mengandung ‘illat syar’I bagi kaum Muslim untuk mempersiapkan kekuatan (kuda-kuda untuk berperang). Dan ‘melontarkan rasa takut kepada musuh’ merupakan ‘illat-nya.

Jadi, mendirikan industri militer/perang wajib hukumnya berdasarkan mafhum dari dalil tersebut.

Manjaniq (Swing-beam)

Manjaniq pertama kali digunakan oleh kaum Muslim pada peristiwa pengepungan Bani Thaif. Adalah Salman Al-Farisi -seorang Persia yang masuk Islam di masa Rasulullah Saw- orang pertama yang memproduksi senjata ini atas perintah Nabi Saw.

Manjaniq merupakan mesin balok pengayun yang dioperasikan oleh orang-orang yang menarik tali pada satu sisi balok sehingga ujung yang lain akan berayun sangat kuat dan menembakkan misil dari tali yang menempel pada ujungnya.[1]

Manjaniq sebenarnya telah dikenal sebelum masa penaklukan Islam. Bangsa Avar pernah menggunakannya pada penyerbuan Thessalonica di tahun 597 M. Bahkan mesin pelontar ini dipercayai dicipta pertama kali oleh China antara abad ke-5 dan ke-3 SM, dan sampai ke Eropa sekitar 500 M[2]. Lalu pada masa pemerintahan Islam, Salman mengusulkannya kepada Nabi Saw sebagai senjata perang, seperti yang diriwayatkan dalam Sirah al-Halabiyah.

“Hingga pada hari pecahnya dinding benteng Thaif,” demikian Ibnu Hisyam meriwayatkan dalam kitab Sirah-nya, “Sekelompok sahabat Rasulullah Saw masuk ke dalam bawah dababah[3], lalu mereka berusaha masuk ke dalam dinding benteng Thaif agar mereka bisa membakar pintu benteng. Bani Tsaqif lalu melemparkan potongan-potongan besi yag telah dipanaskan dengan api sehingga membakar dababah yang ada dibawahnya, kemudian Bani Tsaqif melempari mereka dengan anak panah sehingga beberapa orang gugur.” [4]

Atas usulan Salman ini, Nabi Saw langsung mengangkatnya sebagai mudir[5] untuk mengelola industri militer dan memproduksi manjaniq untuk memperkokoh kekuatan pasukan artileri yang dipersiapkan untuk terjun ke medan tempur.

Pedang Damaskus (Sword of Damascus)
Dihiasi dengan ornamen garis bergelombang, lentur, ringan, dan mampu menembus baju zirah, menjadikan pedang damaskus salah satu senjata perang paling bersejarah.

Pedang ini diproduksi di Damaskus pada abad ke-12 M.[6] Eropa lalu mencoba membuat yang serupa dengannya, namun hingga saat ini masih belum mampu meniru 100%. Bahkan dengan teknologi metalurgi sekalipun belum dapat membuat tandingan yang memiliki ketajaman yang sama dengan Pedang Damaskus ini.

Pedang yang pernah membuat gentar Pasukan Salib ini, memiliki semacam lapisan kaca di permukaannya. Sutra akan terbelah bila jatuh di atasnya. Pedang lain pun akan menemui nasib yang sama jika beradu dengannya. Tidak ada yang menyangka, bahwa ilmuwan Muslim telah menerapkan teknologi nano sejak seribu tahun yang lalu.



Selama ratusan tahun, tidak ada yang mengthui rahasia kehebatan pedang tanpa tanding ini. Adalah John D. Verhoeven -seorang profesor metalurgi modern dari Iowa State University- yang berkolaborasi dengan Alfred H. Pendray, seorang tukang besi dari Florida, yang telah mencoba membuat pedang ini selama bertahun-tahun. Dari penerapan nanoteknologi bahan impurities (non-besi dan non-carbon) dalam adonan baja yang membentuk pola mirip aliran air yang dikenal dengan Multi Walled Carbon Nano Tube[7], barulah diketahui rahasia di balik kehebatan pedang damaskus ini.

Teknologi Pembuatan Mesiu (Gunpowder)
Tidak hanya mumpuni dalam seni membuat pedang, kaum Muslim juga mampu mengembangkan teknologi pembuatan mesiu. Walaupun senyatanya bubuk mesiu pertama kali ditemukan di Cina yang digunakan sebagai alat pembakaran pada abad 9 M, dua abad sebelumnya seorang ahli kimia Muslim Khalid bin yazzid telah mengenal lebih dulu potassium nitrat (KNO3), bahan utama pembuat mesiu.


Eropa baru mengenal mesiu setelah dibawa oleh pasukan Mongol pada tahun 1240 M.[9] Dan selanjutnya dikembangkan menjadi bahan peledak, misalnya untuk mendorong peluru, kemudian seabad setelahnya disempurnakan menjadi senjata api.

Jauh sebelum Eropa mengembangkan teknologi pembuatan mesiu, ilmuwan-ilmuwan Muslim telah lebih dulu mencobanya. Banyak ilmuwan Mulim yang menguasai teknik pemurnian potassium, sebuah teknik yang tak diketahui oleh orang-orang Cina. Jabir Ibnu Hayyan (wafat tahun 815 M), Abu Bakar Al-Razi (wafat tahun 932), dan Hasan Al-Rammah adalah ilmuwan-ilmuwan Muslim yang telah menguasai teknik ini dan telah dijelaskan di dalam karya-karya mereka. Teknik pemurnian ini dilakukan agar potassium bisa digunakan sebagai bahan peledak.



Pemurnian potassium ini pernah diklaim Barat sebagai temuan Roger Bacon. Namun klaim ini dipatahkan sendiri oleh ilmuwan Barat lainnya yaitu Partington. Hasan Al-Rammah telah menjelaskan proses ini secara rinci di dalam karyanya Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah. Penguasaan Al-Rammah atas penggunaan bubuk mesiu sangat luar biasa. Ia telah berhasil menulis sebanyak 107 rumus atau resep penggunaan mesiu. 22 resep di antaranya diracik khusus untuk membuat roket.

Saat Perang Salib meletus tahun 1249 M, Raja louis IX dan para pasukannya pernah merasakan kehebatan moncong meriam dan roket kaum Muslim. Betapa hebatnya dampak proyektil yang ditembakkan pasukan Muslim, membuat Raja Louis IX kewalahan dan akhirnya takluk. Peristiwa itu diakui sendiri oleh Jean de Joinville, salah seorang perwira tentara Perang Salib.

The Mohammed’s Greats Gun
Inilah salah satu senjata paling fenomenal yang digunakan dalam perang paling menakjubkan sepanjang sejarah. The Mohammed’s Greats Gun, itulah sebutan senjata yang dibuat pada tahun 1942 ini . Meriam ini dibuat sebagai jawaban atas keinginan Muhammad al-Fatih untuk menjebol benteng pertahanan Kostantinopel.

Spoiler for meriam:


“Aku dapat membuat meriam tembaga dengan kapasitas seperti yang Anda inginkan,” kata Orban -seorang ahli insinyur yang diundang Al-Fatih ke Adrianopel-, “Aku telah mengamati secara detail tembok di Konstantinopel. Aku tidak hanya akan memorakporandakan tembok itu dengan senjataku. Bahkan, tembok Babilonia pun akan hancur karenanya.

Spoiler for meriam:


Tentu saja hal ini disambut gembira oleh Muhammad Al-Fatih. Impian untuk mewujudkan bisyarah Rasulullah Saw (tentang takluknya Kontantiopel) sudah di depan mata. Maka dijalankanlah proyek tersebut. Dan senjata terbesar di dunia yang pernah ada pada masanya akhirnya berada dalam genggaman Muhammad Al-Fatih. Memiliki panjang 8,2 meter, diameter 76 cm, dengan berat 18,2 ton, meriam ini sanggup melontarkan bola besi padat berdiameter 70 cm dengan berat 680 kg sejauh 1,6 km.

Militer Hebat, Negara pun Kuat
“Pasukan Utsmaniy sangat cepat gerakannya,” ujar Bertrand de Broquiere –seorang pengembara asal Perancis-, “Seratus pasukan kafir akan jauh lebih gaduh dari sepuluh ribu pasukan Utsmaniy. Tatkala genderang perang telah ditabuh, maka dengan segera mereka akan bergerak, mereka tidak akan berhenti melangkah hingga komando dikeluarkan. Mereka adalah pasukan yang terlatih. Dalam semalam mereka mampu melakukan tiga kali lipat perjalanan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya orang-orang kafir.”[11]

Kaum Muslim memang telah berhasil membangun angkatan bersenjata yang kuat dan pasukan yang terlatih. Walaupun tidak bisa dikatakan bahwa militer sebagai satu-satunya faktor penentu kemenangan di medan perang, tetapi ia merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab yang mengantarkan kepada kemenangan. Maka tak heran jika Rasul Saw sangat memperhatikan strategi perang, kekuatan pasukan, dan persenjataan di setiap peperangan. Dan selanjutnya juga menjadi perhatian para Khalifah pada masa sesudahnya.

Di masa Abbasiyah, sebagaimana yang dituturkan oleh Philip K. Hitti, “tentara kaum Muslim terdiri dari pasukan infanteri (harbiyah) yang bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan panah (ramiyah) dan kavaleri (fursan) yang mengenakan pelindung kepala dan dada, serta bersenjatakan tombak dan kapak. Tiap pasukan pemanah membawa pelontar nafa (naffathun), mengenakan pakaian anti api dan melontarkan bahan mudah terbakar ke pasukan musuh.”[12]

Penaklukan dan penyebaran Islam yang begitu massif bukanlah semata-mata karena militer yang kuat, tetapi faktor utama semua itu adalah ideologi Islam. Motivasinya pun bukan lantaran memburu ghanimah (harta rampasan perang) atau sumber daya alam.

KEREEEN

Apa itu khilafah?

Khilafah adalah Sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Allah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan.


Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.


«مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah. (Hadis Riwayat Muslim).



«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

“Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim).



«وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ»

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah serta telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Lalu jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher (bunuhlah) orang itu. (Hadis Riwayat Muslim).

Beberapa poin penting dalam sistem khilafah:
1. Seluruh umat Islam di dunia wajib berada di bawah 1 pemimpin yang disebut khalifah. Berdasarkan hadits Rasulullah: "Jika dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang kedua".
2.Khalifah tersebut kemudian mengangkat Amiir (gubernur) sebagai perpanjangan tangan dari khalifah untuk memimpin wilayah2 yang tersebar di seluruh dunia. Sehingga gubernur2 yang tersebar di seluruh wilayah Islam di dunia berada di bawah Khalifah (secara struktur) dan bertanggung jawab langsung kepada Khalifah.

Sabtu, 18 Desember 2010

Dalil-dalil Mengenai Kewajiban Menegakkan Negara Khilafah

Siapa di antara kita yang tidak mengetahui bahwa mendirikan Negara Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian adalah salah satu kewajiban terbesar dalam agama Islam? Kewajiban menegakkan Negara Khilafah sesungguhnya telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip dasar di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Untuk menjelaskan kebenaran pendapat ini, kalangan Ahlul Sunnah berhujjah dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan sejumlah kaidah ushul.

1. Dalil al-Quran

Dalil al-Quran yang berkaitan dengan kewajiban menegakkan Negara Khilafah, antara lain, firman Allah Swt. yang berbunyi:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan berbagai amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan memerintahkan kalian agar—jika kalian menetapkan hukum di antara manusia—membuat ketetapan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. (QS an-Nisâ’ [4]: 58).

Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, dalam karyanya, Wujûb Tathbîq asy-Syarî‘ah, halaman 301, antara lain, menyatakan:

Seruan (khithâb) dalam ayat ini mengandung perintah untuk menyampaikan berbagai amanat kepada kalangan yang berhak. Ketentuan ini bersifat umum menyangkut seluruh amanat. Oleh karena itu, agama adalah amanat; syariat adalah amanat; kekuasaan berdasarkan syariat pun adalah amanat.

Ibn Jarîr ath-Thabarî, dalam kitab tafsirnya, telah menukil sejumlah riwayat yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan para penguasa (wulât al-umûr). Beliau, antara lain, menuturkan riwayat yang bersumber dari Mush‘ab ibn Sa‘ad. Disebutkan bahwa ia telah menyatakan bahwa Sayyidina ‘Alî r.a. pernah mengucapkan kata-kata yang mengandung kebenaran. Sayyidina ‘Alî r.a., antara lain, berkata:

Seorang imam (khalifah) wajib menjalankan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanat. Jika dia mengerjakan hal ini, maka rakyat wajib mendengar dan menaatinya, sekaligus memenuhi seruannya jika mereka diseru.

Menurut Ibn Jarîr, pendapat yang paling tepat mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan seruan (khithâb) dari Allah Swt. kepada para penguasa (walî al-amri) kaum Muslim untuk menunaikan amanat yang telah diserahkan oleh kaum Muslim kepada mereka; baik dalam masalah fai’, penunaian hak-hak, dan urusan apa saja yang telah diamanatkan kepada mereka untuk dijalankan secara adil di antara kaum Muslim, dalam hal keputusan dan pembagian secara sama di antara mereka.

Sementara itu, Ibn Taymiyah mempunyai pendapat yang sangat berharga mengenai makna ayat di atas dan ayat sesudahnya. Silakan periksa pernyataannya dalam bukunya, As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, halaman 6-7.

Dalil lain dari al-Quran, misalnya, adalah firman Allah Swt. berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Sikap demikian adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59).

Mengomentari ayat di atas, Ibn Jarîr ath-Thabarî menyatakan:

Pendapat yang paling tepat mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ulil amri adalah para pemimpin (umarâ’) dan para penguasa (wulât). Mereka wajib ditaati di dalam perkara yang mengandung unsur ketaatan kepada Allah dan kemaslahatan bagi kaum Muslim.

Ibn Katsîr juga menyatakan, “Ayat tersebut bersifat umum untuk semua ulil amri, baik dari kalangan ulama maupun umarâ’.”

Tidak diragukan lagi bahwa perintah untuk menaati ulil amri mengandung perintah untuk mewujudkan orang yang berhak untuk ditaati. Yang dimaksud tidak lain adalah Khalifah.

Kedua ayat di atas mengandung pilar-pilar negara, yaitu: (1)

Para

penguasa, yaitu ulil amri. (2) Umat, yaitu pihak yang berkewajiban menaati ulil amri. (3). Undang-undang dan peraturan, yaitu hukum syariat.

Dua ayat di atas, sebagai representasi dari puluhan ayat lainnya, telah cukup menjadi dalil mengenai pelaksanaan hukum Allah; termasuk penegakan hudûd, qishâsh, dan jihad. Semua kewajiban jelas tidak akan pernah dapat diwujudkan, kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah) yang ditaati oleh kaum Muslim, yakni penguasa yang menjalankan agama Allah ‘Azza wa Jalla.

2. Dalil as-Sunnah

Hadis-hadis yang menjadi dasar kewajiban mendirikan Khilafah sangat banyak jumlahnya dan sangat masyhur. Imam al-Bukhârî—rahimahullâh—telah meletakkan sebuah pasal dalam Shahîh-nya. Di dalamnya, dihimpun sejumlah hadis sahih yang berkaitan dengan masalah Khilafah dan berbagai urusan pemerintahan. Pasal itu dinamai dengan Kitâb al-Ahkâm. Begitu pula dengan Imam Muslim—rahimahullâh. Beliau juga telah menghimpun dalam Shahîh-nya sejumlah hadis yang berhubungan dengan masalah Khilafah dan hukum-hukumnya. Himpunan hadis tersebut beliau sebut dengan Kitâb al-Imârah. Hal yang sama ditemukan di dalam seluruh kitab hadis yang ada.

Oleh karena itu, silakan Anda periksa kembali hadis-hadis tersebut, wahai saudaraku sesama Muslim. Coba Anda perhatikan, lantas apa pendapat Anda. Anda pasti akan segera menyimpulkan bahwa kita telah demikian melalaikan kewajiban mendirikan Khilafah ini. (Ya Allah, ampunilah kami!)

3. Dalil Ijma Sahabat

Ijma Sahabat, barangkali, merupakan dalil yang paling kuat mengenai masalah pengangkatan imam (khalifah). Alasannya, para sahabat, secara mutlak, merupakan generasi salaf ash-shâlih yang terbaik. Ijma Sahabat adalah dalil yang sangat kuat. Oleh karena itu, Imam Ahmad ibn Hanbal—yang bergelar Nâshir as-Sunnah (Penolong as-Sunnah) dan Qâmi’ al-Bid‘ah (Penghancur Bid‘ah)—bahkan pernah menyatakan, “Siapa saja mengklaim ada ijma—di luar Ijma Sahabat—berarti telah berdusta.”

Ijma Sahabat itu sendiri sesungguhnya telah ditetapkan oleh sejumlah nash yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Dhiyâ’uddîn ar-Rays, dalam bukunya, Al-Islâm wa al-Khilâfah, halaman 348, antara lain menyatakan demikian:

Ijma, sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama ushul, adalah dasar yang kuat di antara sumber-sumber syariat Islam. Ijma yang terkuat dan tertinggi martabatnya adalah Ijma Sahabat r.a. Alasannya, merekalah generasi pertama kaum Muslim. Mereka telah bergaul dengan Rasulullah saw. sekaligus menyertai beliau dalam sejumlah aktivitas jihad dan perjuangannya. Mereka telah mendengar sejumlah sabdanya. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui berbagai hukum dan rahasia ajaran Islam. Jumlah mereka terbatas dan Ijma mereka pun telah termasyhur.

Setelah Rasulullah saw. wafat, mereka telah bersepakat (berijma), antara lain, tentang keharusan adanya seseorang yang menggantikan kedudukan beliau (sebagai kepala negara, peny.). Mereka mengadakan pertemuan untuk memilih pengganti Rasulullah saw. Di antara mereka, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kaum Muslim tidak memerlukan seorang imam atau seorang khalifah. Walhasil, dengan ijma ini, terbuktilah kewajiban adanya Khilafah. Inilah dasar Ijma yang menjadi sandaran kewajiban adanya Khilafah.

Selanjutnya, Dhiyâ’uddîn ar-Rays menukil pernyataan Asy-Syahrustânî sebagai berikut:

Tidak pernah terbetik dalam hati Abû Bakar ash-Shidddîq, juga dalam hati salah seorang pun di kalangan para sahabat, bahwa bumi ini boleh kosong dari seorang imam (khalifah). Semua ini menunjukkan bahwa para sahabat, sebagai generasi pertama umat ini, seluruhnya telah berijma mengenai kewajiban adanya Khilafah.

4. Kaidah Syariat

Bagi mereka yang mengkaji secara benar agama Islam yang agung ini, tidak ada keraguan lagi bahwa berdirinya Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) bukanlah tujuan perjuangan itu sendiri, melainkan merupakan salah satu tuntutan dalam agama ini, karena ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Tidak ada keraguan lagi bahwa hal ini telah ditetapkan dalam syariat kita yang suci. Kaidah syariat menetapkan demikian:

Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya. []

[Sumber: Menegakkan Kembali Negara Khilafah, Abu Abdul Fattah, Ali Belhaj]

Kamis, 16 Desember 2010



Ilustrasi (blogspot.com/kembarasalik)
dakwatuna.com – Untuk mengawali tulisan ini, penulis ingin mengemukakan pengakuan seorang istri yang menulis sebuah Buku ‘Ala al-Jisr (di atas jembatan). Buku ini ditulis sebagai bukti kecintaannya kepada suaminya, Amin Khuli . inilah sebagian cuplikan itu…
Tampak pada diri kita, bagi kita dan bersama kita, tanda-tanda Allah yang maha besar. Dia yang telah menciptakan kita dari jiwa yang satu. Kita dulu adalah satu yang tak terbilang, kesatuan yang tak bisa dibagi-bagi. Kisah perjalanan adalah legenda zaman, belum pernah dunia mendengarnya dan tidak mungkin terulang lagi sampai sang waktu akan berakhir punah.
Dr. Aisyah abd. al-Rahman/Bint al-Syati’

Sepanjang sejarah manusia, laki-laki dan perempuan saling membutuhkan satu sama lainnya, bahkan bagi nabi Adam, surga pun terasa kurang lengkap tanpa seorang pendamping (Hawa). Perempuan adalah permata yang memancarkan aura kekuatan yang akan membuat laki-laki menjadi super, dari malas menjadi semangat, dari lemah menjadi kuat, dan dari harapan menjadi kenyataan. Perempuan juga membuat hati yang kasar menjadi lembut, tangis menjadi tawa, dan sebaliknya bisa membuat laki-laki  menjadi sosok yang kejam dan menakutkan. Fakta sejarah membuktikan bahwa dalam setiap kesuksesan orang besar, di belakangnya seringkali ada sosok perempuan yang selalu mensupportnya.  Dan juga sebaliknya, sejarah pertumpahan darah sering kali terjadi demi memperebutkan seorang  perempuan. Qabil adalah actor pertama dalam sejarah pembunuhan manusia yang dilakukan pada saudaranya sendiri Habil, demi sosok perempuan yang bernama Iqlima.
Demikianlah sunnatullah bahwa yang namanya laki-laki membutuhkan perempuan, dan sebaliknya perempuan juga membutuhkan sosok laki-laki, yang akan melindunginya, menjadi imam dalam menempuh perjalanan hidupnya, dan menjadi  pembela dalam setiap desah nafasnya.
Di sinilah dibutuhkan tali sebagai penghubung yang akan mengikat antar keduanya,  membangun bersama rumah surgawi, dan  mencetak  generasi-generasi Islami. Itulah pernikahan. Untuk mewujudkan semua itu, kita harus merumuskan siapakah sosok ideal yang akan menjadi pendamping hidup kita, sehingga kita dan pasangan kita akan merasa menjadi manusia yang paling bahagia. Dan mungkin kelak akan menjadi kenangan indah yang takkan pernah terlupakan sepanjang masa seperti kokohnya Tajmahal yang menjadi lambang kecintaan suami pada istri tercintanya, mumtaz.  Inilah contoh-contoh  untuk membangun ” Baiti Jannati” rumahku adalah surgaku…
Alangkah indahnya punya sosok istri seperti Siti Khadijah, istri yang membuat nabi selalu ingat sepanjang masa, istri yang selalu ada dalam bahagia maupun duka, menghiburnya saat beliau bersedih, dan menjadi tempat curahan keluh-kesahnya.  Sosok istri yang posisinya tak tergantikan sehingga nabi sulit melupakannya, bahkan sampai tiga atau empat tahun setelah kewafatannya baru nabi mencari penggantinya. nabi pernah berkata pada Siti Aisyah “Allah tidak mengganti Khadijah dengan yang lebih baik, dia percaya padaku saat semua orang tidak mempercayaiku, dia membenarkan aku saat semua manusia mendustakanku, berbagi harta denganku saat semua orang mengharamkan padaku. Dan Allah memberikan keturunan darinya dimana Allah mengharamkan dari yang lainnya.
Alangkah bahagianya seorang istri yang mempunyai sosok suami seperti Rasulullah, suami yang memanggil Siti Aisyah dengan sebutan “Ya Humaira’”, suami yang bila istrinya keluar rumah digandeng dan dihantar sampai ke atas kendaraan, sosok suami yang membuat Siti Aisyah menangis terharu saat melihat suaminya tertidur di depan pintu, saat itu nabi kemalaman datang berkunjung ke rumah Siti Aisyah. Paginya Siti Aisyah minta maaf, tapi apa jawaban nabi, tidak Aisyah, aku yang salah, aku terlalu malam datang ke sini.
Alangkah beruntungnya suami yang mempunyai istri seperti Siti Hajar yang rela di tinggal suami di sebuah lembah yang tak berpenghuni dalam keadaan menyusui karena demi sebuah perintah.  Atau seperti istrinya Umar bin Abdul Aziz yang rela meninggalkan harta perhiasannya dan memilih ikut bersama suaminya. Dan masih banyak contoh-contoh sosok suami-istri yang membangun rumah tangganya bak taman surgawi.
Namun alangkah malangnya suami-Istri yang tidak bisa saling membahagiakan, tidak bisa saling mengalah, dan tidak bisa saling mengerti. Alangkah malangnya suami jika punya istri yang berkarir hingga pulang larut malam, tidak ada yang menyambut suami ketika datang dari kantor , tidak ada senyum manis sang istri di depan pintu, dan istri sudah tidak sempat lagi membuatkan masakan untuk suaminya. Semuanya pada sibuk, rumah hanya sebagai tempat istirahat dengan segala kelelahan yang dibawa dari tempat kerja masing-masing, rumah hanya menjadi tempat pelampiasan kemarahan, pertengkaran sering mewarnai keseharian, dan ketika di tegur, Istri selalu berdalih emansipasi wanita yang kadang dengan alasan seperti ini istri sering melupakan kewajibannya. Anak-anak kurang mendapatkan kasih sayang, dan suami sudah tidak lagi merindukan senyum sang istri. Apakah keluarga seperti ini yang dirindukan? “
Baiti Jannati” rumahku adalah surgaku bukan untuk diimpikan tapi harus diusahakan. Kebahagiaan tidak datang begitu saja, harus ada upaya dari keduanya. Suami-istri harus bisa merawat,  saling melengkapi satu sama lain, dan saling memahami hak dan kewajiban masing-masing sehingga rumah tangga itu bisa tetap utuh. Dengan saling memahami dan berusaha untuk saling memberikan yang terbaik, Insya Allah rumah surgawi akan menjadi kenyataan bukan hanya impian.
(hdn)

Senin, 13 Desember 2010

Jika Bukan Ahlinya Yang Mengurus, Tunggulah Kehancuran..!


Selasa, 26/10/2010 22:48 WIB | email | print | share

إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ
فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (BUKHARI - 6015)
Sungguh benarlah ucapan Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam di atas. "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Amanah yang paling pertama dan utama bagi manusia ialah amanah ketaatan kepada Allah, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta dengan segenap isinya. Manusia hadir ke muka bumi ini telah diserahkan amanah untuk berperan sebagai khalifah yang diwajibkan membangun dan memelihara kehidupan di dunia berdasarkan aturan dan hukum Yang Memberi Amanah, yaitu Allah subhaanahu wa ta’aala.
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”(QS Al-Ahzab 72)
Amanat ketaatan ini sedemikian beratnya sehingga makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung saja enggan memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian ketika ditawarkan kepada manusia, amanat itu diterima. Sehingga dengan pedas Allah ta’aala berfirman: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” Sungguh benarlah Allah ta’aala...! Manusia pada umumnya amat zalim dan amat bodoh. Sebab tidak sedikit manusia yang dengan terang-terangan mengkhianati amanat ketaatan tersebut. Tidak sedikit manusia yang mengaku beriman tetapi tatkala memiliki wewenang kepemimpinan mengabaikan aturan dan hukum Allah ta’aala. Mereka lebih yakin akan hukum buatan manusia –yang amat zalim dan amat bodoh itu- daripada hukum Allah ta’aala. Oleh karenanya Allah hanya menawarkan dua pilihan dalam masalah hukum. Taat kepada hukum Allah atau hukum jahiliah? Tidak ada pilihan ketiga. Misalnya kombinasi antara hukum Allah dengan hukum jahiliah.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ
حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)
Dewasa ini kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di negeri kita yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Belum selesai mengurus dua kecelakaan kereta api sekaligus, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan dengan erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah. Belum lagi ibukota Jakarta dilanda banjir massif yang mengakibatkan kemacetan dahsyat di setiap sudut kota, bahkan sampai ke Tangerang dan Bekasi. Siapa sangka banjir di Jakarta bisa terjadi di bulan Oktober, padahal jadwal rutinnya biasanya di bulan Januari atau Februari..?
Lalu bagaimana hubungan antara berbagai musibah dengan pengabaian hukum Allah? Simaklah firman Allah ta’aala berikut:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah 49)
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa Allah mengancam bakal terjadinya musibah bila suatu kaum berpaling dari hukum Allah. Dan tampaknya sudah terlalu banyak dosa yang dilakukan ummat yang mengaku beriman di negeri ini sehingga musibah yang terjadi harus berlangsung beruntun. Dan dari sekian banyak dosa ialah tentunya dosa berkhianat dari amanah ketaatan kepada Allah ta’aala. Tidak saja sembarang muslim di negeri ini yang mengabaikan aturan dan hukum Allah, tetapi bahkan mereka yang dikenal sebagai Ulama, Ustadz, aktifis da’wah dan para muballigh-pun turut membiarkan berlakunya hukum selain hukum Allah. Hanya sedikit dari kalangan ini yang memperingatkan ummat akan bahaya mengabaikan hukum Allah.

Sungguh benarlah ucapan Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."