Dalil-dalil Mengenai Kewajiban Menegakkan Negara Khilafah

Siapa di antara kita yang tidak mengetahui bahwa mendirikan Negara Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian adalah salah satu kewajiban terbesar dalam agama Islam? Kewajiban menegakkan Negara Khilafah sesungguhnya telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip dasar di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Untuk menjelaskan kebenaran pendapat ini, kalangan Ahlul Sunnah berhujjah dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan sejumlah kaidah ushul.

1. Dalil al-Quran

Dalil al-Quran yang berkaitan dengan kewajiban menegakkan Negara Khilafah, antara lain, firman Allah Swt. yang berbunyi:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan berbagai amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan memerintahkan kalian agar—jika kalian menetapkan hukum di antara manusia—membuat ketetapan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. (QS an-Nisâ’ [4]: 58).

Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, dalam karyanya, Wujûb Tathbîq asy-Syarî‘ah, halaman 301, antara lain, menyatakan:

Seruan (khithâb) dalam ayat ini mengandung perintah untuk menyampaikan berbagai amanat kepada kalangan yang berhak. Ketentuan ini bersifat umum menyangkut seluruh amanat. Oleh karena itu, agama adalah amanat; syariat adalah amanat; kekuasaan berdasarkan syariat pun adalah amanat.

Ibn Jarîr ath-Thabarî, dalam kitab tafsirnya, telah menukil sejumlah riwayat yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan para penguasa (wulât al-umûr). Beliau, antara lain, menuturkan riwayat yang bersumber dari Mush‘ab ibn Sa‘ad. Disebutkan bahwa ia telah menyatakan bahwa Sayyidina ‘Alî r.a. pernah mengucapkan kata-kata yang mengandung kebenaran. Sayyidina ‘Alî r.a., antara lain, berkata:

Seorang imam (khalifah) wajib menjalankan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanat. Jika dia mengerjakan hal ini, maka rakyat wajib mendengar dan menaatinya, sekaligus memenuhi seruannya jika mereka diseru.

Menurut Ibn Jarîr, pendapat yang paling tepat mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan seruan (khithâb) dari Allah Swt. kepada para penguasa (walî al-amri) kaum Muslim untuk menunaikan amanat yang telah diserahkan oleh kaum Muslim kepada mereka; baik dalam masalah fai’, penunaian hak-hak, dan urusan apa saja yang telah diamanatkan kepada mereka untuk dijalankan secara adil di antara kaum Muslim, dalam hal keputusan dan pembagian secara sama di antara mereka.

Sementara itu, Ibn Taymiyah mempunyai pendapat yang sangat berharga mengenai makna ayat di atas dan ayat sesudahnya. Silakan periksa pernyataannya dalam bukunya, As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, halaman 6-7.

Dalil lain dari al-Quran, misalnya, adalah firman Allah Swt. berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Sikap demikian adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59).

Mengomentari ayat di atas, Ibn Jarîr ath-Thabarî menyatakan:

Pendapat yang paling tepat mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ulil amri adalah para pemimpin (umarâ’) dan para penguasa (wulât). Mereka wajib ditaati di dalam perkara yang mengandung unsur ketaatan kepada Allah dan kemaslahatan bagi kaum Muslim.

Ibn Katsîr juga menyatakan, “Ayat tersebut bersifat umum untuk semua ulil amri, baik dari kalangan ulama maupun umarâ’.”

Tidak diragukan lagi bahwa perintah untuk menaati ulil amri mengandung perintah untuk mewujudkan orang yang berhak untuk ditaati. Yang dimaksud tidak lain adalah Khalifah.

Kedua ayat di atas mengandung pilar-pilar negara, yaitu: (1)

Para

penguasa, yaitu ulil amri. (2) Umat, yaitu pihak yang berkewajiban menaati ulil amri. (3). Undang-undang dan peraturan, yaitu hukum syariat.

Dua ayat di atas, sebagai representasi dari puluhan ayat lainnya, telah cukup menjadi dalil mengenai pelaksanaan hukum Allah; termasuk penegakan hudûd, qishâsh, dan jihad. Semua kewajiban jelas tidak akan pernah dapat diwujudkan, kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah) yang ditaati oleh kaum Muslim, yakni penguasa yang menjalankan agama Allah ‘Azza wa Jalla.

2. Dalil as-Sunnah

Hadis-hadis yang menjadi dasar kewajiban mendirikan Khilafah sangat banyak jumlahnya dan sangat masyhur. Imam al-Bukhârî—rahimahullâh—telah meletakkan sebuah pasal dalam Shahîh-nya. Di dalamnya, dihimpun sejumlah hadis sahih yang berkaitan dengan masalah Khilafah dan berbagai urusan pemerintahan. Pasal itu dinamai dengan Kitâb al-Ahkâm. Begitu pula dengan Imam Muslim—rahimahullâh. Beliau juga telah menghimpun dalam Shahîh-nya sejumlah hadis yang berhubungan dengan masalah Khilafah dan hukum-hukumnya. Himpunan hadis tersebut beliau sebut dengan Kitâb al-Imârah. Hal yang sama ditemukan di dalam seluruh kitab hadis yang ada.

Oleh karena itu, silakan Anda periksa kembali hadis-hadis tersebut, wahai saudaraku sesama Muslim. Coba Anda perhatikan, lantas apa pendapat Anda. Anda pasti akan segera menyimpulkan bahwa kita telah demikian melalaikan kewajiban mendirikan Khilafah ini. (Ya Allah, ampunilah kami!)

3. Dalil Ijma Sahabat

Ijma Sahabat, barangkali, merupakan dalil yang paling kuat mengenai masalah pengangkatan imam (khalifah). Alasannya, para sahabat, secara mutlak, merupakan generasi salaf ash-shâlih yang terbaik. Ijma Sahabat adalah dalil yang sangat kuat. Oleh karena itu, Imam Ahmad ibn Hanbal—yang bergelar Nâshir as-Sunnah (Penolong as-Sunnah) dan Qâmi’ al-Bid‘ah (Penghancur Bid‘ah)—bahkan pernah menyatakan, “Siapa saja mengklaim ada ijma—di luar Ijma Sahabat—berarti telah berdusta.”

Ijma Sahabat itu sendiri sesungguhnya telah ditetapkan oleh sejumlah nash yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Dhiyâ’uddîn ar-Rays, dalam bukunya, Al-Islâm wa al-Khilâfah, halaman 348, antara lain menyatakan demikian:

Ijma, sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama ushul, adalah dasar yang kuat di antara sumber-sumber syariat Islam. Ijma yang terkuat dan tertinggi martabatnya adalah Ijma Sahabat r.a. Alasannya, merekalah generasi pertama kaum Muslim. Mereka telah bergaul dengan Rasulullah saw. sekaligus menyertai beliau dalam sejumlah aktivitas jihad dan perjuangannya. Mereka telah mendengar sejumlah sabdanya. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui berbagai hukum dan rahasia ajaran Islam. Jumlah mereka terbatas dan Ijma mereka pun telah termasyhur.

Setelah Rasulullah saw. wafat, mereka telah bersepakat (berijma), antara lain, tentang keharusan adanya seseorang yang menggantikan kedudukan beliau (sebagai kepala negara, peny.). Mereka mengadakan pertemuan untuk memilih pengganti Rasulullah saw. Di antara mereka, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kaum Muslim tidak memerlukan seorang imam atau seorang khalifah. Walhasil, dengan ijma ini, terbuktilah kewajiban adanya Khilafah. Inilah dasar Ijma yang menjadi sandaran kewajiban adanya Khilafah.

Selanjutnya, Dhiyâ’uddîn ar-Rays menukil pernyataan Asy-Syahrustânî sebagai berikut:

Tidak pernah terbetik dalam hati Abû Bakar ash-Shidddîq, juga dalam hati salah seorang pun di kalangan para sahabat, bahwa bumi ini boleh kosong dari seorang imam (khalifah). Semua ini menunjukkan bahwa para sahabat, sebagai generasi pertama umat ini, seluruhnya telah berijma mengenai kewajiban adanya Khilafah.

4. Kaidah Syariat

Bagi mereka yang mengkaji secara benar agama Islam yang agung ini, tidak ada keraguan lagi bahwa berdirinya Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) bukanlah tujuan perjuangan itu sendiri, melainkan merupakan salah satu tuntutan dalam agama ini, karena ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Tidak ada keraguan lagi bahwa hal ini telah ditetapkan dalam syariat kita yang suci. Kaidah syariat menetapkan demikian:

Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya. []

[Sumber: Menegakkan Kembali Negara Khilafah, Abu Abdul Fattah, Ali Belhaj]